Artikel ini telah tayang di GATRA Artikel ini telah tayang di halaman gatra.com dengan judul "Zakat sebagai Pendanaan Program Pengembangan Masyarakat Islam". Baca selengkapnya: https://www.gatra.com/news-568026-milenial-zakat-sebagai-pendanaan-program-pengembangan-masyarakat-islam.html
Penulis: Dr. Icol Dianto, S.Sos.I., M.Kom.I Dosen Tetap pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan
Zakat merupakan salah satu dana filantropis Islam, yang memiliki dua dimensi yaitu peribadatan dan kemanusiaan. Pada aspek peribadatan, zakat tidak bisa dilepaskan dari pemahaman bahwa zakat adalah perintah Allah dan kewajiban bagi setiap muslim. Pemahaman kita tentang suatu kewajiban adalah dalil Quran dan Sunnah sehingga kewajiban itu harus ditunaikan sesuai dengan dalil-dalil Naqli tersebut. Pada aspek lain, zakat merupakan wujud ekspresi keimanan kita untuk peduli kepada manusia. Dua aspek yang melekat pada zakat ini mempengaruhi perspektif kita terhadap zakat, antara perspektif konvensional dengan perspektif kontemporer. Zakat hanya bisa digunakan untuk sesuatu yang sifatnya konsumtif, diberikan kepada kelompok orang yang berhak menerimanya (mustahik) tanpa dimintai pertanggung jawab atas dana yang diberikan. Penggunaan dana zakat diserahkan kepada mustahik sepenuhnya. Biasanya pihak pengelola zakat membuat persyaratan yang ketat dalam menetapkan kriteria mustahik, yang harus disesuaikan dengan ketentuan syariat. Ini adalah perspektif konvensional, sebuah pandangan keagamaan yang tekstual tentang zakat. Sebaliknya, penggunaan dana zakat tidak terbatas untuk suatu yang bersifat konsumtif saja. Zakat memiliki potensi untuk menjadi dana utama dalam pembangunan masyarakat Muslim. Berdasarkan pandangan keagamaan kontemporer ini, dana zakat dapat digunakan untuk kegiatan yang produktif dan investasi. Di sinilah ranah diskursus yang selalu diperdebatkan, antara kelompok yang membolehkan dengan kelompok yang tidak membolehkan dana zakat itu untuk kegiatan produktif dan investasi. Penggunaan dana zakat sudah diperlukan pandangan baru, yang mana dana tersebut mesti kembali dalam bentuk yang mendatangkan kesejahteraan masyarakat Muslim, terutama kelompok dlu’afa. Kelompok dlu’afa tidak saja fakir dan miskin namun mencakup kelompok yang lemah dari pandangan yang multidimensional. Kalau kita kembali pada dalil orang-orang yang berhak menerima zakat, ada delapan golongan. Mereka itu adalah kelompok lemah yang multidimensional, lemah secara ekonomi, lemah secara keimanan, lemah secara kedudukan, lemah secara keamanan, dan lain-lain. Oleh karena itu, perdebatan zakat ini telah selesai dan saatnya merumuskan regulasi yang tepat guna sehingga dana yang besar itu mendatangkan kebermanfaatan yang signifikan untuk kesejahteraan umat. Potensi zakat warga muslim di Indonesia mencapai Rp327 triliun lebih (Kompas, 2022). Potensi ini baru mampu dihimpun oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pusat sebesar Rp5,8 triliun. Meskipun realisasi masih tercatat sangat kecil namun BAZNAS optimis kepatuhan masyarakat Muslim terus memperlihatkan trend yang positif. Beberapa penelitian menunjukan bahwa lembaga-lembaga filantropi Islam turut mengumpulkan zakat secara independen. Dengan begitu, realisasi zakat Muslim di Indonesia masih belum dikelola oleh lembaga tunggal. Dilema memang, UU kita tentang zakat masih menganut dualisme kelembagaan, yaitu lembaga yang dibentuk oleh Negara dan lembaga yang dibentuk oleh masyarakat. Lembaga zakat yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Regulasi ini menandai dimulainya pengelolaan zakat secara terstruktur. Namun, aturan tersebut juga mengindikasikan adanya keinginan untuk memperkuat kewenangan Negara untuk mengatur pengelolaan zakat secara terpusat (Muhammad Bahrul Ilmie, 2021). Lembaga zakat yang dibentuk oleh masyarakat diberi ruang yang sama. Lembaga zakat bentukan masyarakat ini telah lama berdiri dan dimaknai sebagai partisipasi masyarakat Muslim. Masyarakat hadir membantu kerja pemerintah untuk mengumpulkan dana zakat, yang dengan dana itu pula masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan kesejahteraan rakyat. Keberadaan lembaga zakat bentukan masyarakat ini hanya perlu pengawasan dari pemerintah supaya dana umat tersebut tepat guna. Soal pengawasan ini memang dilema, apakah harus diawasi oleh pemerintah? Beberapa lembaga filantropis mungkin saja memiliki kasus yang merugikan umat. Dana umat diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan membantu gerakan-gerakan ekstremis, radikalis, dan teroris. Namun, lembaga zakat yang berada pada organisasi yang sudah mapan malah beranggapan bahwa mereka lebih baik dalam hal menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan dana zakat. Berkaca pada penelitian telah dilakukan oleh cendekiawan muslim untuk mengkaji pengelolaan zakat. Kajian itupun mencakup multidimensi, seperti kepercayaan muzaki terhadap institusi zakat, sistem pendistribusian, regulasi zakat, integrasi antara zakat dengan pajak. Selain itu, riset tentang zakat yang sifatnya lokalpun menjamur di media publikasi jurnal Indonesia. Bahkan, kajian komparatif antara Indonesia dan Malaysia, ketertinggalan kita adalah masih terdapatnya dualisme antara zakat dan pajak. Akademisi mengusulkan supaya Negara hadir untuk menengahi ketegangan antara kewajiban agama dengan kewajiban Negara. Di antara solusi yang ditawarkan adalah menjadikan zakat sebagai subtitusi pajak. Di sisi lain, pajak adalah pendapatan asli Negara yang dikelola oleh lembaga yang berbeda. Hasrat untuk menjadikan zakat untuk subtitusi pajak tentu akan berdampak terhadap pendapatan negara. Atau, dana zakat yang masuk ke Negara nantinya dikelola secara bersamaan dengan pajak? Kondisi ini tentu memunculkan polemik. Oleh karena itu, pendapat yang kuat saat ini adalah membiarkan dana zakat menjadi kewajiban yang terpisah dari pajak. Zakat adalah kewajiban setiap individu yang telah memenuhi syarat dan sebagai konsekuensi ketaatan beragama. Sementara itu, pajak adalah kewajiban warga negara sebagai konsekuensi hidup bernegara. BAZNAS dan PMI: Agenda di masa mendatang Bagaimana zakat itu tetap mencerminkan aspek fundamentalnya sebagai kewajiban dan ibadah namun penggunaannya mesti memberikan dampak yang signifikan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengikuti saran dari Mari Adachi (Kyoto University), zakat di Indonesia itu sudah menunjukan perubahan yang besar. Banyak tokoh muslim di Indonesia yang menyuarakan perubahan perspektif pengelolaan zakat, di antaranya zakat dikaji berdasarkan maqashid al-shariah. Bagaimana pengelolaan zakat itu memberikan pengaruh terhadap pembaharuan sistem ekonomi Islam. BAZNAS memiliki unit kegiatan untuk pengembangan masyarakat yang disebut dengan Zakat Community Development (ZCD). Hal ini menarik untuk dikaji, seperti apa konsep/desain Zakat Community Development yang dikembangkan oleh BAZNAS? Apakah ZCD memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan masyarakat Indonesia? Bagaimana narasi ZCD yang dikembangkan oleh BAZNAS untuk mampu mengoptimalkan pengumpulan zakat? Ini adalah pekerjaan kita di masa mendatang. BAZNAS mesti memberdayakan unit-unit tertentu dari Perguruan Tinggi Keagamaan Islam untuk membumikan kesadaran berzakat di tengah-tengah masyarakat. Kemampuan BAZNAS untuk mendistribusikan dana zakat akan lebih kreatif dan inovatif jika dikombinasikan dengan kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PKM), terutama PKM yang dilaksanakan oleh Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN/IAIN/STAIN. Untuk memperjelas maksud, sebut saja Program Studi Pengembangan Masyarakat, yang mana program studi ini memiliki keahlian keilmuan di bidang community development. Sudahkan kemitraan yang terjalin antara BAZNAS dengan PTKN bersifat mutualisme dan produktif? Kegiatan PKM yang diselenggarakan oleh kampus, terutama yang level program studi, memiliki pembiayaan yang sangat terbatas. Hanya dapat membelanjai transfortasi mahasiswa dan membeli snack untuk satu kali perkegiatan. Di sini BAZNAS mesti mengambil kontribusi untuk kesejahteraan umat. BAZNAS memiliki etos menghimpun dana zakat dan mendistribusikannya, dengan etos yang seperti ini mendorong BAZNAS tidak akan “pelit” membantu mahasiswa yang memang ada kaitannya secara langsung untuk community development. Adapun community development yang diusung oleh kampus keagamaan Islam adalah Islamic community development. Artinya, kegiatan pengabdian masyarakat tersebut berorientasi untuk pengembangan masyarakat yang didasarkan nilai-nilai agama Islam. Dengan begitu, tentu BAZNAS dapat menjadi mitra perguruan tinggi, terutama untuk menyukseskan program Zakat Community Development yang diusung oleh BAZNAS.
0 Komentar