Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

LITERASI NEWS

Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama

Artikel ini diresume dari buku Aneka Pendekatan Studi Agama 
Ditulis oleh
Icol Dianto, S.Sos.I., M.Kom.I
Mahasiswa Doktoral Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Antroplogi mulai muncul pada abad ke-19 saat mana dimulainya penelitian tentang manusia. Penelitian antropologi pada waktu itu mencakup pencarian fosil yang masih ada, mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) dan meneliti masyarakat manusia yang paling tua dan kelompok yang tetap bertahan sampai saat ini. Penelitian antropologi yang demikian itu merupakan ide dari perubahan (evolusi), namun ia tidak digerakan oleh teori evolusi Charless Darwin melainkan karya Darwin hanya memperkuat atau dapat dikatakan mendukung penelitian antropolog tersebut.
Pada pertumbuhan awal ilmu antropologi ini lebih pada antropologi fisikal (biologis) namun pada perkembangan selanjutnya atropologis bergeser pada aspek sosial dan budaya (kultural). Antropolog pada generasi pertama ini lebih evolusioner yang memandang manusia tertata dalam keteraturan, seolah eskalator historis raksasa. Mereka membagi kelompok masyarakat manusia pada tiga tingkatan yaitu:[1]

Pandangan evolusi merupakan justifikasi dari misionaris Kristiani dan anti Darwin. Pandangan evolusi ini juga sebagai justifikasi dari kolonialisme karena itu pandangan evolusi sosial/ darwinisme tidak dapat diterima oleh intelektual-intelektual terutama aliran fundamentalis populis USA.
Antropolog pada generasi awal terlibat perdebatan tentang bentuk masyarakat manusia pertama, apakah mereka dicirikan oleh perkawinan kelompok atau matriarkhi, bentuk agama prasejarah (kuno) itu berupa magic, penyembahan pada kekuatan alam, animisme, dan totemisme. Pada perdebatan itu, bagi sebagian orang  dijadikan sebagai dalil memperkuat kebenaran pandangan mereka dan bagi sebagian yang lain melihat bahwa kontinuitas sejarah antara primitif dan modern adalah cara menolak kepalsuan dan meruntuhkan agama.
1.        Pandangan Sir James Frazel dan Emil Durkheim
The Golden Bough karya Sir James Frazel dipublikasikan pada 1980 memuat contoh-contoh magic dan ritual dari teks klasik agama-agama mencakup seluruh dunia. Ia melihat agama sebagai bentuk sihir (magic) fertilitas. Frazer mengemukakan skema evolusi sederhana, suatu ekspresi rasionalisme sejarah manusia melewati tiga fase yaitu magic, agama dan ilmu.
Pada sisi lain, Emil Durkheim berpandangan lain (berbeda) dengan Frazer. Dalam karyanya The Elementary Forms dipublikasikan pada 1912 di Perancis. Durkheim berpandangan bahwa pengambilan contoh magic agama seluruh dunia tanpa memperhatikan konteks aslinya dan menimbun terlalu tinggi adalah metode antropologis yang keliru. Ekspresi keagamaan perlu dukungan pembuktian dan perlunya menguji sebuah contoh secara mendalam. Perlu kajian antropologis pada kasus tunggal dan berupaya menggali kebenaran darinya. Emil Durkheim berpandangan bahwa semua agama adalah benar menurut kode masing-masing dan memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia. Agama primitif adalah yang paling sederhana untuk menjelaskan watak kehidupan agama dengan baik. Dengan menganalisis asal usul agama dapat menghantarkan seseorang pada pengungkapan asal usul pemikiran manusia. Agama bukan keyakinan pada supernatural melainkan agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktik-praktik yang berhubungan dengan suatu yang sacred yaitu sesuatu yang terasingkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan, dan praktik-praktik yang menyatu dalam suatu komunitas moral dimana semua orang tunduk kepadanya. Pemikiran Durkheim tentang agama bahwa masyarakat memerlukan agama untuk menyatukan anggota (klan) masyarakat pemuja. Setiap agama perlu adanya ritus-ritus sebagai pemujaan, penyatuan dan ekspresi kegembiraan penganut agama. Emil Durkheim melakukan penelitian mendalam pada suku Aborigin Autralia dan meneliti ritual intichiuma yaitu suatu ritual ekspresi kegembiraan keagamaan totemisme (percaya pada Kanguru) dengan membakar kanguru dan menyajikannya kepada para tetua suku.
2.        Karakteristik Dasar Pendekatan Antropolis
Karakteristik pendekatan antropologis adalah holistik yaitu pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lainnya dalam masyarakat. Antropolog melihat bahwa agama berkaitan dengan praktik pertanian, kekeluargaan dan politik, magic dan pengobatan secara bersama-sama. Salah seorang antropolog, Middleton meneliti masyarakat Lugbara dalam mendalami kajian agama dari pendekatan antropologis ini. 
3.        Perdebatan-Perdebatan
Perdebatan para antropolog mengenai definisi agama terus bergulir. Definisi klasik Taylor menekankan bahwa agama adalah keyakinan pada ada yang spiritual. Definisi ini diperbaharui oleh E. Spiro bahwa agama adalah suatu institusi yang muncul dari interaksi yang dipola dan dipostulasikan secara kultural. Spiro menjelaskan bahwa agama adalah simbol yang berperan untuk mengokohkan motivasi dan suasana hati yang kuat, dapat dirasakan dan hadir dimanapun dan kekal dalam diri seseorang dengan memformulasikan konsepsi tentang keteraturan eksistensi, membungkus konsepsi itu dengan pancaran faktualitas dimana suasana hati dan motivasi itu tampak pada realitas. Suasana hati yang kuat dan motivasi itu dapat dikokohkan melalui ritual atau peribadatan.
M. Southwold menyatakan bahwa tidak mungkin menghadirkan agama dalam satu karakteristik tunggal. Agama hadir sebagai yang politetik dan hadir dalam beragam ekspresi. Menurut Southwold ada 12 daftar karakteristik agama, yaitu:
a.     Concern pada suatu yang ilahiah dan hubungan manusia dengannya;
b.     Dikotomi elemen dunia menjadi sacred dan profane dan perhatian utama pada sacred;
c.     Orientasi pada keselamatan dari keadaan biasa dalam kehidupan duniawi;
d.     Praktik-praktik ritual;
e.     Keyakinan yang tidak dapat ditunjukan secara logis atau empiris atau sangat mungkin tetapi harus ada sebagai dasar keimanan;
f.      Suatu kode etis yang didukung oleh keyakinan-keyakinan itu;
g.     Sanksi supernatural karena terjadi pelanggaran terhadap kode tersebut;
h.     Mitologi;
i.       Adanya suatu kitab suci atau tradisi oral yang mulia;
j.       Adanya kependetaan (kenabian) atau spesialisasi elit keagamaan;
k.     Berkaitan dengan suatu komunitas moral (gereja dalam pemahaman Durkheim). 
l.    Ada kaitannya dengan kelompok etnis atau kelompok yang sama.
Taman Akademik---- Bimbingan Akademik bersama Pakar Sosiologi Dakwah Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Padangsidimpuan, Dr. Sholeh Fikri, M,Ag, di Perumahan Sidempuan Indah Lestari, Kota Padangsidimpuan. FOTO: Zilfaroni, M.Ag
 




[1] David N. Gellner, diolah Icol Dianto, pemakalah pada mata kuliah Approaches to Islamic Studies, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Did you hear there's a 12 word phrase you can communicate to your crush... that will induce intense feelings of love and impulsive attractiveness to you buried within his chest?

    That's because hidden in these 12 words is a "secret signal" that triggers a man's impulse to love, worship and look after you with all his heart...

    =====> 12 Words Will Trigger A Man's Desire Impulse

    This impulse is so hardwired into a man's genetics that it will make him try harder than before to make your relationship the best part of both of your lives.

    Matter of fact, fueling this influential impulse is so essential to having the best ever relationship with your man that once you send your man a "Secret Signal"...

    ...You'll immediately find him expose his heart and soul to you in a way he's never experienced before and he'll see you as the one and only woman in the world who has ever truly tempted him.

    BalasHapus