
Sebelum dikotomi itu terjadi, Islam sebagai
agama yang membangun peradaban baru, mencoba untuk berdamai dengan peradaban Yunani,
Romawi dan Persia yang telah lebih dahulu maju. Pakar muslim kala itu tidak
hanya menguasai satu disiplin ilmu melainkan banyak disiplin ilmu yang
dituangkan dalam buku-bukunya pada abad klasik itu.
Ada pula satu buku dari karya cendekia muslim
namun terdapat banyak disiplin ilmu, satu topik ilmu dibahas dengan pendekatan lintas
keilmuan sehingga kajian mereka itu masih layak dan menjadi rujukan sampai saat
ini.
Namun, setelah peradab Barat (Eropa) kembali bangkit, mereka menghancurkan dominasi kekuasaan Islam bahkan ingin melenyapkan Islam dari muka bumi ini. Mereka mengambil karya-karya cendekia muslim terutama ilmu-ilmu yang dikategorikan ilmu umum dewasa ini, dan memberangus kitab-kitab klasik yang berkaitan dengan akidah, fikih, dan kitab-kitab hadis.
Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu umum itu dikembangkan
oleh peradaban Barat yang menguasai segala aspek mulai dari ekonomi, politik, sosial,
ideologi, dan iptek, sementara ilmu-ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu-ilmu
keislaman dikembangkan oleh umat islam yang telah porak poranda kehidupan ekonomi,
sosial, dan politik.
Di Indonesia, dikotomi itu terasa sekali dengan
berdirinya dua kelembagaan dan kementerian yang mengurusi dua kategori keilmuan
ini, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Telah dipecah menjadi
Kementerian Pendidikan Nasional dan Ristekdikti) sementara ilmu-ilmu keislaman
dikelola oleh Kementerian Agama.
Itu sudah berjalan lebih dari setengah abad. Dengan
lahirnya UIN (Universitas Islam Negeri) yang hendak menyatukan kembali ilmu, menghapus
dinding isolasi, dan mendelete dikotomi. UIN tidak saja mengkaji agama dengan
kacamata agama melainkan mengkaji agama dengan kacamata ilmu-ilmu umum baik
ilmu sosial maupun ilmu alam, dan sebaliknya mengkaji ilmu-ilmu umum (sosial
dan science) dengan kacamata ilmu-ilmu agama.
Menurut Dr. Fuad Jabali, M.A., tamatan
konsentrasi hadis di program doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah tidaklah memiliki hafalan kitab-kitab hadis (isi kepalanya tidak
hadis semua), melainkan dalam kepalanya ada ilmu-sosial sosial seperti
antropologi, sejarah, sosiologi, dan lain-lain. Jadi, kitab hadis itu tidak
sekedar tumpukan buku-buku yang berisi hadis melainkan hadis dalam kitab klasik
itu menjadi hidup dalam kehidupan masa kini. Maka yang dikejarnya adalah
relevansi, implementasi dan aplikasi dari hadis-hadis tersebut dalam semua
aspek kehidupan manusia sejak dulu, sekarang dan masa yang akan datang.
(Ringkasan Kuliah Approaches to Islamic
Studies/ AIS, 18 Sept 2019, Dr. Fuad Jabali, M.A, Kelas C ruang 2.10).
0 Komentar