Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

LITERASI NEWS

FATWA BARU PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM



FATWA BARU UNTUK PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
OLEH
NANIH MACHENDRAWATY DAN AGUS AHMAD SYAFEI[1]



            Ibrahim “Bram” Karim seorang mahasiswa IAIN Bandung asal pulau alor nusa tenggara timur pernah bercerita perihal kebiasaan buruk yang ada di masyarakatnya. Seperti halnya keadaan masyarakat islam dimanapun, keadaan masyarakat yang diceritakan mahasiswa asal pulau alor ini juga relative tidak begitu menggembirakan secara ekonomi. Hanya saja, dan ini hebatnya masyarakat disana memiliki kebiasaan turun temurun berpesta pora alias kenduri tak berkeputusan.
            Masih mending kalau biaya pesta berasal dari kantong mereka sendiri. Celakanya, biaya hura-hura itu sering berasal dari pinjaman. Maka, begitu pesta usai yang punya hajat segera menjadi pengutang. Berhubung mereka pada umumnya berprofesi sebagai petani dari hasil bertanilah mereka mengumpulkan untuk membayar utang. Setelah bertahun-tahun barulah utang itu terbayar. Begitu utang terbayar kenduri berikutnya segera dirancang lagi. Mereka telah terperangkap ke dalam lingkaran kenduri tiada henti.
            Keadaan ini rupanya cukup menggelisahkan salah seorang putra terbaik daerah ini yang sempat kuliah di IAIN Bandung. Maka, sebagai tanda cintanya yang amat mendalam pada tanah kelahirannya itu dengan tingkat keikhlasan yang sukar dibayangkan mahasiswa kita inipun segera mengambil tindakan konkret. Dalam sebuah acara pesta yang juga disitu diadakan pengajian, mahasiswa ini dari ujung podium segera mengeluarkan fatwa, “mulai dari detik ini juga, hentikan kebiasaan pesta-pesta yang hanya membuat masyarakat sengsara ini.
            Apa yang ia terima setelah mengeluarkan fatwanya itu? Rupanya masyarakat memandang mahasiswa kita ini sebagai anak durhaka yang tidak tahu adat nenek moyang. Maka, apa boleh buat, disamping menerima segala macam caci maki, ia juga digebuki hingga nyaris mampus di tempat.
            Cerita berikutnya tentang almarhum Endang Saefuddin Anshori (ESA) atau biasa dipanggil Ama. Alkisah, suatu ketika beliau diundang berceramah di sebuah pesantren mahasiswa di kawasan Dago. Sampai pada waktunya, beliau sudah berada di tempat. Tetapi betapa gundah dan dongkolnya hati beliau karena mahasiswa yang hendak diberinya ilmu itu menunjukan sikap yang amat tidak mendukung, datang terlambat, baju acak-acakan, ruangan kelas tidak berketentuan. Akhirnya Ama hengkang dari tempat itu.
            Beliau pulang sendirian tak meminta diantar oleh panitia yang menjemputnya. Beliau pulang dengan jalan kaki, naik turun bukit. Panitia kalang kabut, lalu menyusulnya dengan mobil. Tetapi Ama menolak ajakan itu. Akhirnya, mobil mengikuti Ama dari belakang dengan kegalauan hati sopir dan seluruh panitia yang ada di mobil itu.
            Di tempat lain, di sebuah dusun yang jauh dari hiruk pikuk kota, seorang ustad yang tawadlu baru saja usai memberikan pengajian malam pada masyarakat. Ia pulang dengan menaiki sepeda kumbangnya. Sementara di belakang ustad ini, sebuah mobil cukup mewah milik seorang jamaahnya berjalan. Lampu mobil menyorot ke arah ustad yang baru saja memberikan ceramah kepada orang yang ada di mobil itu. Dengan tanpa menawarkan jasa baiknya, mobil itu lewat begitu saja mendahului sang ustad.
            Namanya juga manusia, ustad kita ini tak kuasa menahan gundah gulananya sampai meledaklah kata-kata. “Baru kali ini saya diperlakukan amat menyakitkan oleh jamaah. Sejak saat itu, atas saran dari orang-orang terdekatnya, ustad ini memutuskan untuk tidak menjadi ustad lagi. Baginya, kini profesi ustad tampaknya tidak ada harganya sama sekali. Jangankan beberapa peser, sepeserpun tidak.
            Cerita lain datang dari seorang ustad, metodolog, teolog, yang juga pernah nyantri di Qum Iran. Syahdan, suatu ketika ia diundang untuk memberikan pengajian pada sebuah BUMN untuk memberikan spiritual exercise. Sejak tengah malam sampai terbit fajar dengan menggebu-gebu ia berbicara perihal spiritualitas dan potensi umat. Hadirin yang terdiri atas jajaran direksi dan manajer dibuat termangu-mangu. Satu dua di antaranya ada juga yang menyempatkan diri menangis.
            Tatkala pulang ustad yang juga konsultan itu segera tahu bahwa penghargaan yang diterimanya amatlah minim. Tidak kuat hati menerima keadaan itu, ia bergumam aneh luar biasa. Sebuah BUMN besar, yang menyelenggarakan sebuah kegiatan perusahaan yang dihadiri oleh para direksi dan manajer untuk kepentingan spiritual mereka sendiri dan diselenggarakan semalam suntuk tidak memberikan penghargaan yang memadai pada orang yang membinanya. Sepertinya mereka tidak sadar bahwa untuk itu saya harus membeli buku, membacanya, mempersiapkannya dan meninggalkan anak istri di rumah semalam suntuk. Luar biasa, sungguh menakjubkan umat ini.
            Waktu berjalan sampai suatu saat BUMN itu mengundang kembali ustad kita ini. Apa kata beliau, “Tidak. Sepulang dari acara anda kemarin saya sudah memutuskan berhenti jadi ustad. Saya berhenti dulu agar tidak ada vested interest. Saya akan memperjuangkan kesejahteraan umat dari luar. Saya akan kembali menjadi ustad kalau saya sudah kaya, agar saya tenang memikirkan persoalan umat.
            Tampaknya ada sesuatu yang salah dalam bangunan keumatan ini. Kita sepertinya sulit mencari akar persoalannya. Yang jelas, kita menyaksikan banyak orang yang dahulunya tafaquh fid-din dan mengkhidmahkan dirinya untuk fi sabilillah, terpaksa banting setir meninggalkan aktivitasnya. Mereka terpaksa lari mencari pekerjaan apapun asal bisa menghidupi mereka. Lebih-lebih karena ada semacam common sanse di tengah-tengah masyarakat bahwa orang yang bergerak dalam aktivisme keagamaan tidak boleh hidup sejahtera. Alangkah menyakitkan.
            Fenomena di atas mendorong saya untuk menceritakan lagi sebuah kisah lain dari sebuah negeri nun jauh di benua hitam sana, Tanzania. Seperti halnya masyarakat yang diceritakan mahasiswa kita asal pulau Alor di muka, masyarakat Tanzania yang mayoritas islam ini juga gemar berkenduri. Untuk memperingati hari-hari besar Islam, khitanan, selamatan, pernikahan dan seterusnya mereka senang mengadakan pesta-pesta.
            Kondisi ini terus berlangsung sampai kemudian seorang ulama dan intelektual jenius tampil ke permukaan. Setelah membaca keadaan umatnya ia pun segera mengumumkan fatwanya yang mencengangkan seluruh masyarakat Tanzania. Hentikan acara-acara kenduri di negeri ini. Serahkan saja seluruh uang hajatan kepada saya. Saya akan memanfaatkan semua dana anda untuk proyek pemberdayaan umat secara by design, strategis dan memasa depan.
            Walaupun pada mulanya sempat dituding macam-macam dan dicaci maki berhubung ia seorang yang amat dihormati masyarakat mau juga menuruti fatwanya itu. Mereka mulai menyerahkan dana hajatan mereka kepada tokoh ini. Apa yang diperbuat sang ulama nyentrik tapi sangat cerdas membaca keadaan umatnya ini.
            Dengan dana-dana itu ia menyekolahkan sejumlah pemuda muslim ke negara-negara maju, setiap tahun belasan bahkan puluhan pemuda pelajar diberi beasiswa dari dana yang ia kelolah. Ia sinergikan potensi dana umat untuk mencerdaskan, memberdayakan, dan meningkatkan kualitas SDM secara sangat pipulis. Pada saat pengiriman pelajar sebagai human invesment terus berlangsung, pemerintah Tanzania membuka kesempatan bagi masyarakat untuk masuk ke institusi-institusi pemerintahan.
            Menakjubkan. Dari para pelamar yang masuk dan diterima mayoritas adalah pemuda muslim. Pada tahun-tahun berikutnya posisi-posisi penting diisi oleh mereka. Seorang putra terbaik Tanzania yang muslim akhirnya untuk naik ke kursi kepresidenan. It’s great.
            Inilah sebuah terobosan (breakthrouh) yang amat smart, terobosan yang bisa memotong kebekuan dari tradisi yang monoton. Pada awalnya, begitu biasa, setiap kepeloporan selalu saja banyak ditentang, dicemooh dan dituding macam-macam. Namun, berkat keyakinan dan harga diri (selfesteem), self confidencen, concern, keumatan yang tinggi, kesabaran dan tawakal, hasil akhirnya betul-betul sangat menakjubkan.
            Kita memang memerlukan kepeloporan, terobosan dan keberanian. Kita wajib memperjuangkan strategi pemberdayaan umat yang by design, holistik, integral dalam rangka mempercepat proses pencerdasan dan pemberdayaan umat. Ini mutlak merupakan tanggungjawab seluruh lini keumatan dari kalangan elit hingga kalangan masyarakat bawah. Di sini kita memerlukan manajemen yang profesional yang mensinergikan kekuatan-kekuatan umat mensilaturahmikan berbagai gagasan dan keunggulan yang dimiliki penghuni terbesar di negeri ini, umat Islam. Dalam hal ini, kita perlu belajar dari Tanzania.
            Berkaitan dengan cerita dari Tanzania itu, saya diingatkan betapa banyak orang yang kaya raya di kalangan umat Islam Indonesia ini. Buktinya, dalam hitung-hitungan Hasbullah Thabrani, dalam sebuah kolomnya di Republika, dalam satu tahun kemarin, untuk keperluan umrah dan haji yang kedua atau ketiga, umat Islam mengeluarkan tidak kurang dari 5 triliun rupiah. Alangkah mewahnya.
            Bayangkan untuk keperluan ibadah sunah saja, umat Islam Indonesia bersedia mengeluarkan uang triliunan rupiah. Sementara pada saat bersamaan kita menyaksikan jutaan anak-anak kita tidak bisa sekolah atau kekurangan gizi sehingga kita terancam kehilangan satu generasi (the lost generation). Dalam bahasa Ahmad Tafsir, umat islam ini masih lebih mengutamakan hal-hal sunat, seperti umrah, dan mengabaikan hal-hal wajib, seperti mencerdaskan anak-anak.
            Dalam bahasa manajemen modern bisa dikatakan umat islam sesungguhnya memiliki potensi yang luar biasa tetapi belum digarap secara maksimal. Lini-lini umat masih bergerak secara separatis dan sporadis, belum menggunakan manajemen sosial efektif dan masif populis. Membelanjakan harta dalam rangka mencerdaskan membuka wawasan, meningkatkan serta membina intelektualitas dan spiritualitas umat merupakan long invesment yang sangat ditekankan oleh Islam.
            Seandainya saya seorang ulama, rasanya saya ingin sekali berfatwa: dengan mengucapkan ihdinash shirathal mustaqim, saya menyatakan, hentikan dulu keinginan tuan-tuan untuk umrah atau naik haji yang kedua, ketiga dan seterusnya. Serahkan saja uangnya pada kami. Kami akan kelola dan akan kami pakai untuk membeasiswai putra-putri kita kuliah demi kebaikan kita semua kelak.
            Apa artinya bercerita tentang kebanggaan mencium hajarul aswad sementara pada saat yang bersamaan kita menyaksikan anak-anak kita tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya atau lebih tragis dari itu, menyaksikan anak-anak kita yang masih ragu apakah esok bisa makan atau tidak yang jumlahnya jutaan. Berhentilah menjadi manusia egois. Bersediakah Anda mendukung fatwa ini?

---------- 0 ----------

Saya Akan Memperkecilkan Skala Fatwa Ini
            Saya mendengar adanya kebiasaan masyarakat lokal di Tapanuli Selatan bahwa jika ada kematian, maka sudah menjadi tradisi bagi masyarakat, untuk menyembelih sapi. Yang dibebankan untuk pembiayaan resepsi pemakaman itu adalah “anak boru”. Meski anak boru tidak punya uang, miskin, hidup berpenghasilan rendah, namun karena mereka anak boru, tetap saja harus mencarikan sapi. Kalau tidak sanggup menyediakan sapi untuk resepsi kematian itu, maka anak boru akan dipandang hina demikian juga dengan keluarga inti dari orang yang meninggal. Nanti utang-utanganlah dulu mereka sesama anak boru, meski nanti harus jual ini dan itu.
            Fakta yang saya amati, memang acara kematian di Tapanuli Selatan beraliran Islam tradisional, suatu kelompok pemeluk agama Islam yang masih membaurkan perintah agama dengan budaya-budaya lokal. Memang saat rangkaian acara prosesi menjelang jenazah dishalatkan, banyak pula orang yang memberikan sambutan-sambutan, mereka mewakili dari ahli waris dan anak boru. Kemudian, pengunjung yang datangpun demikian banyaknya, dari kampung sebelah. Kemudian, jika ada familinya yang tinggal di kampung lain, maka diapun nanti memiliki tetangga satu komplek, yang juga datang untuk menjenguk mayit. Ini patut kita hargai, yang mencerminkan betapa kuatnya persatuan orang Tapanuli Selatan. Akan tetapi, ketika menghantar ke kuburan, hanya hitungan jari saja yang pergi. Sementara yang lainnya menyantap hidangan tuan rumah, nasi, shop daging, dan rendang, tidak lupa kecap asin.
            Setujuhkah Anda, jika ada kematian, maka harta yang akan disumbangkan ke warga dengan makan cuma-cuma itu diinfakan ke masjid, panti asuhan, dan komunitas yang membina anak-anak yatim, maka itu lebih baik. Bayangkan mereka yang bernasib kurang beruntung itu, sangat jarang sekali makan shop daging dan rendang. Langkah bahagianya nanti mereka itu, kalau ada setiap kematian ada orang nantinya yang akan memberi mereka makan yang biasa dimakan oleh orang-orang berpunya. Cobalah bayangkan.
            Karena Nabi Saw telah mengatakan, terputus segala amal setiap anak cucu adam, kecuali tiga hal saja, yaitu doa anak yang shaleh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariyah.
           


[1] Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Syafei, Pengembangan Masyarakat Islam, hal. 205-209

Posting Komentar

0 Komentar