FATWA BARU UNTUK
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
OLEH
NANIH
MACHENDRAWATY DAN AGUS AHMAD SYAFEI[1]
Ibrahim
“Bram” Karim seorang mahasiswa IAIN Bandung asal pulau alor nusa tenggara timur
pernah bercerita perihal kebiasaan buruk yang ada di masyarakatnya. Seperti
halnya keadaan masyarakat islam dimanapun, keadaan masyarakat yang diceritakan
mahasiswa asal pulau alor ini juga relative tidak begitu menggembirakan secara
ekonomi. Hanya saja, dan ini hebatnya masyarakat disana memiliki kebiasaan
turun temurun berpesta pora alias kenduri tak berkeputusan.
Masih
mending kalau biaya pesta berasal dari kantong mereka sendiri. Celakanya, biaya
hura-hura itu sering berasal dari pinjaman. Maka, begitu pesta usai yang punya
hajat segera menjadi pengutang. Berhubung mereka pada umumnya berprofesi
sebagai petani dari hasil bertanilah mereka mengumpulkan untuk membayar utang.
Setelah bertahun-tahun barulah utang itu terbayar. Begitu utang terbayar kenduri
berikutnya segera dirancang lagi. Mereka telah terperangkap ke dalam lingkaran
kenduri tiada henti.
Keadaan
ini rupanya cukup menggelisahkan salah seorang putra terbaik daerah ini yang
sempat kuliah di IAIN Bandung. Maka, sebagai tanda cintanya yang amat mendalam
pada tanah kelahirannya itu dengan tingkat keikhlasan yang sukar dibayangkan mahasiswa
kita inipun segera mengambil tindakan konkret. Dalam sebuah acara pesta yang
juga disitu diadakan pengajian, mahasiswa ini dari ujung podium segera
mengeluarkan fatwa, “mulai dari detik ini juga, hentikan kebiasaan pesta-pesta
yang hanya membuat masyarakat sengsara ini.
Apa
yang ia terima setelah mengeluarkan fatwanya itu? Rupanya masyarakat memandang
mahasiswa kita ini sebagai anak durhaka yang tidak tahu adat nenek moyang.
Maka, apa boleh buat, disamping menerima segala macam caci maki, ia juga
digebuki hingga nyaris mampus di tempat.
Cerita
berikutnya tentang almarhum Endang Saefuddin Anshori (ESA) atau biasa dipanggil Ama. Alkisah, suatu
ketika beliau diundang berceramah di sebuah pesantren mahasiswa di kawasan
Dago. Sampai pada waktunya, beliau sudah berada di tempat. Tetapi betapa gundah
dan dongkolnya hati beliau karena mahasiswa yang hendak diberinya ilmu itu
menunjukan sikap yang amat tidak mendukung, datang terlambat, baju acak-acakan,
ruangan kelas tidak berketentuan. Akhirnya Ama hengkang dari tempat itu.
Beliau pulang sendirian
tak meminta diantar oleh panitia yang menjemputnya. Beliau pulang dengan jalan
kaki, naik turun bukit. Panitia kalang kabut, lalu menyusulnya dengan mobil.
Tetapi Ama menolak ajakan itu. Akhirnya, mobil mengikuti Ama dari belakang
dengan kegalauan hati sopir dan seluruh panitia yang ada di mobil itu.
Di tempat lain, di sebuah
dusun yang jauh dari hiruk pikuk kota, seorang ustad yang tawadlu baru saja
usai memberikan pengajian malam pada masyarakat. Ia pulang dengan menaiki
sepeda kumbangnya. Sementara di belakang ustad ini, sebuah mobil cukup mewah
milik seorang jamaahnya berjalan. Lampu mobil menyorot ke arah ustad yang baru
saja memberikan ceramah kepada orang yang ada di mobil itu. Dengan tanpa
menawarkan jasa baiknya, mobil itu lewat begitu saja mendahului sang ustad.
Namanya juga manusia,
ustad kita ini tak kuasa menahan gundah gulananya sampai meledaklah kata-kata.
“Baru kali ini saya diperlakukan amat menyakitkan oleh jamaah. Sejak saat itu,
atas saran dari orang-orang terdekatnya, ustad ini memutuskan untuk tidak
menjadi ustad lagi. Baginya, kini profesi ustad tampaknya tidak ada harganya
sama sekali. Jangankan beberapa peser, sepeserpun tidak.
Cerita lain datang dari
seorang ustad, metodolog, teolog, yang juga pernah nyantri di Qum Iran.
Syahdan, suatu ketika ia diundang untuk memberikan pengajian pada sebuah BUMN
untuk memberikan spiritual exercise. Sejak tengah malam sampai terbit
fajar dengan menggebu-gebu ia berbicara perihal spiritualitas dan potensi umat.
Hadirin yang terdiri atas jajaran direksi dan manajer dibuat termangu-mangu.
Satu dua di antaranya ada juga yang menyempatkan diri menangis.
Tatkala pulang ustad yang
juga konsultan itu segera tahu bahwa penghargaan yang diterimanya amatlah
minim. Tidak kuat hati menerima keadaan itu, ia bergumam aneh luar biasa.
Sebuah BUMN besar, yang menyelenggarakan sebuah kegiatan perusahaan yang
dihadiri oleh para direksi dan manajer untuk kepentingan spiritual mereka
sendiri dan diselenggarakan semalam suntuk tidak memberikan penghargaan yang
memadai pada orang yang membinanya. Sepertinya mereka tidak sadar bahwa untuk
itu saya harus membeli buku, membacanya, mempersiapkannya dan meninggalkan anak
istri di rumah semalam suntuk. Luar biasa, sungguh menakjubkan umat ini.
Waktu berjalan sampai
suatu saat BUMN itu mengundang kembali ustad kita ini. Apa kata beliau, “Tidak.
Sepulang dari acara anda kemarin saya sudah memutuskan berhenti jadi ustad.
Saya berhenti dulu agar tidak ada vested interest. Saya akan
memperjuangkan kesejahteraan umat dari luar. Saya akan kembali menjadi ustad
kalau saya sudah kaya, agar saya tenang memikirkan persoalan umat.
Tampaknya ada sesuatu yang
salah dalam bangunan keumatan ini. Kita sepertinya sulit mencari akar
persoalannya. Yang jelas, kita menyaksikan banyak orang yang dahulunya tafaquh
fid-din dan mengkhidmahkan dirinya untuk fi sabilillah, terpaksa
banting setir meninggalkan aktivitasnya. Mereka terpaksa lari mencari pekerjaan
apapun asal bisa menghidupi mereka. Lebih-lebih karena ada semacam common sanse
di tengah-tengah masyarakat bahwa orang yang bergerak dalam aktivisme keagamaan
tidak boleh hidup sejahtera. Alangkah menyakitkan.
Fenomena di atas mendorong
saya untuk menceritakan lagi sebuah kisah lain dari sebuah negeri nun jauh di
benua hitam sana, Tanzania. Seperti halnya masyarakat yang diceritakan
mahasiswa kita asal pulau Alor di muka, masyarakat Tanzania yang mayoritas
islam ini juga gemar berkenduri. Untuk memperingati hari-hari besar Islam,
khitanan, selamatan, pernikahan dan seterusnya mereka senang mengadakan
pesta-pesta.
Kondisi ini terus
berlangsung sampai kemudian seorang ulama dan intelektual jenius tampil ke
permukaan. Setelah membaca keadaan umatnya ia pun segera mengumumkan fatwanya
yang mencengangkan seluruh masyarakat Tanzania. Hentikan acara-acara kenduri di
negeri ini. Serahkan saja seluruh uang hajatan kepada saya. Saya akan
memanfaatkan semua dana anda untuk proyek pemberdayaan umat secara by design,
strategis dan memasa depan.
Walaupun pada mulanya
sempat dituding macam-macam dan dicaci maki berhubung ia seorang yang amat
dihormati masyarakat mau juga menuruti fatwanya itu. Mereka mulai menyerahkan
dana hajatan mereka kepada tokoh ini. Apa yang diperbuat sang ulama nyentrik tapi
sangat cerdas membaca keadaan umatnya ini.
Dengan dana-dana itu ia
menyekolahkan sejumlah pemuda muslim ke negara-negara maju, setiap tahun
belasan bahkan puluhan pemuda pelajar diberi beasiswa dari dana yang ia
kelolah. Ia sinergikan potensi dana umat untuk mencerdaskan, memberdayakan, dan
meningkatkan kualitas SDM secara sangat pipulis. Pada saat pengiriman pelajar
sebagai human invesment terus berlangsung, pemerintah Tanzania membuka
kesempatan bagi masyarakat untuk masuk ke institusi-institusi pemerintahan.
Menakjubkan. Dari para
pelamar yang masuk dan diterima mayoritas adalah pemuda muslim. Pada
tahun-tahun berikutnya posisi-posisi penting diisi oleh mereka. Seorang putra
terbaik Tanzania yang muslim akhirnya untuk naik ke kursi kepresidenan. It’s
great.
Inilah sebuah terobosan (breakthrouh)
yang amat smart, terobosan yang bisa memotong kebekuan dari tradisi yang
monoton. Pada awalnya, begitu biasa, setiap kepeloporan selalu saja banyak
ditentang, dicemooh dan dituding macam-macam. Namun, berkat keyakinan dan harga
diri (selfesteem), self confidencen, concern, keumatan yang
tinggi, kesabaran dan tawakal, hasil akhirnya betul-betul sangat menakjubkan.
Kita memang memerlukan
kepeloporan, terobosan dan keberanian. Kita wajib memperjuangkan strategi
pemberdayaan umat yang by design, holistik, integral dalam rangka
mempercepat proses pencerdasan dan pemberdayaan umat. Ini mutlak merupakan
tanggungjawab seluruh lini keumatan dari kalangan elit hingga kalangan
masyarakat bawah. Di sini kita memerlukan manajemen yang profesional yang
mensinergikan kekuatan-kekuatan umat mensilaturahmikan berbagai gagasan dan
keunggulan yang dimiliki penghuni terbesar di negeri ini, umat Islam. Dalam hal
ini, kita perlu belajar dari Tanzania.
Berkaitan dengan cerita
dari Tanzania itu, saya diingatkan betapa banyak orang yang kaya raya di
kalangan umat Islam Indonesia ini. Buktinya, dalam hitung-hitungan Hasbullah
Thabrani, dalam sebuah kolomnya di Republika, dalam satu tahun kemarin, untuk
keperluan umrah dan haji yang kedua atau ketiga, umat Islam mengeluarkan tidak kurang
dari 5 triliun rupiah. Alangkah mewahnya.
Bayangkan untuk keperluan
ibadah sunah saja, umat Islam Indonesia bersedia mengeluarkan uang triliunan
rupiah. Sementara pada saat bersamaan kita menyaksikan jutaan anak-anak kita
tidak bisa sekolah atau kekurangan gizi sehingga kita terancam kehilangan satu
generasi (the lost generation). Dalam bahasa Ahmad Tafsir, umat islam
ini masih lebih mengutamakan hal-hal sunat, seperti umrah, dan mengabaikan
hal-hal wajib, seperti mencerdaskan anak-anak.
Dalam bahasa manajemen
modern bisa dikatakan umat islam sesungguhnya memiliki potensi yang luar biasa
tetapi belum digarap secara maksimal. Lini-lini umat masih bergerak secara
separatis dan sporadis, belum menggunakan manajemen sosial efektif dan masif
populis. Membelanjakan harta dalam rangka mencerdaskan membuka wawasan,
meningkatkan serta membina intelektualitas dan spiritualitas umat merupakan
long invesment yang sangat ditekankan oleh Islam.
Seandainya saya seorang
ulama, rasanya saya ingin sekali berfatwa: dengan mengucapkan ihdinash
shirathal mustaqim, saya menyatakan, hentikan dulu keinginan tuan-tuan untuk
umrah atau naik haji yang kedua, ketiga dan seterusnya. Serahkan saja uangnya
pada kami. Kami akan kelola dan akan kami pakai untuk membeasiswai putra-putri
kita kuliah demi kebaikan kita semua kelak.
Apa artinya bercerita
tentang kebanggaan mencium hajarul aswad sementara pada saat yang
bersamaan kita menyaksikan anak-anak kita tidak bisa sekolah karena tidak ada
biaya atau lebih tragis dari itu, menyaksikan anak-anak kita yang masih ragu
apakah esok bisa makan atau tidak yang jumlahnya jutaan. Berhentilah menjadi
manusia egois. Bersediakah Anda mendukung fatwa ini?
---------- 0 ----------
Saya Akan
Memperkecilkan Skala Fatwa Ini
Saya mendengar adanya kebiasaan
masyarakat lokal di Tapanuli Selatan bahwa jika ada kematian, maka sudah
menjadi tradisi bagi masyarakat, untuk menyembelih sapi. Yang dibebankan untuk
pembiayaan resepsi pemakaman itu adalah “anak boru”. Meski anak boru tidak
punya uang, miskin, hidup berpenghasilan rendah, namun karena mereka anak boru,
tetap saja harus mencarikan sapi. Kalau tidak sanggup menyediakan sapi untuk
resepsi kematian itu, maka anak boru akan dipandang hina demikian juga dengan
keluarga inti dari orang yang meninggal. Nanti utang-utanganlah dulu mereka
sesama anak boru, meski nanti harus jual ini dan itu.
Fakta yang saya amati,
memang acara kematian di Tapanuli Selatan beraliran Islam tradisional, suatu
kelompok pemeluk agama Islam yang masih membaurkan perintah agama dengan
budaya-budaya lokal. Memang saat rangkaian acara prosesi menjelang jenazah
dishalatkan, banyak pula orang yang memberikan sambutan-sambutan, mereka
mewakili dari ahli waris dan anak boru. Kemudian, pengunjung yang datangpun
demikian banyaknya, dari kampung sebelah. Kemudian, jika ada familinya yang
tinggal di kampung lain, maka diapun nanti memiliki tetangga satu komplek, yang
juga datang untuk menjenguk mayit. Ini patut kita hargai, yang mencerminkan
betapa kuatnya persatuan orang Tapanuli Selatan. Akan tetapi, ketika menghantar
ke kuburan, hanya hitungan jari saja yang pergi. Sementara yang lainnya
menyantap hidangan tuan rumah, nasi, shop daging, dan rendang, tidak lupa kecap
asin.
Setujuhkah Anda, jika ada
kematian, maka harta yang akan disumbangkan ke warga dengan makan cuma-cuma itu
diinfakan ke masjid, panti asuhan, dan komunitas yang membina anak-anak yatim,
maka itu lebih baik. Bayangkan mereka yang bernasib kurang beruntung itu,
sangat jarang sekali makan shop daging dan rendang. Langkah bahagianya nanti
mereka itu, kalau ada setiap kematian ada orang nantinya yang akan memberi
mereka makan yang biasa dimakan oleh orang-orang berpunya. Cobalah bayangkan.
Karena Nabi Saw telah
mengatakan, terputus segala amal setiap anak cucu adam, kecuali tiga hal saja,
yaitu doa anak yang shaleh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariyah.
0 Komentar