by. Icol Dianto
Diskusi islamisasi pengetahuan (Islamization of Knowledges) mulai bergairah kembali di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Indonesia. Saya sendiri mulai tertarik secara tidak sengaja terlintas dalam pikiran untuk menyusun proposal disertasi di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Juli 2020. Alhamdulillah, proposal saya yang fokus meneliti integrasi keilmuan dakwah dengan social work direstui oleh tim penguji, 5 Oktober 2020.
Sejak terlintasnya pikiran tersebut, saya tertarik untuk membaca disertasi dan buku konsep transformasi IAIN ke UIN di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seingat saya, tujuan utama menjadi Universitas itu adalah untuk menghilangkan dikotomi ilmu, yang telah mengalami diferensiasi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu sekuler dari peradaban Barat.
Diskusi pertama yang saya ikuti tentang islamisasi pengetahuan adalah International Virtual Seminar on Islamic Epistemology. Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan yang bagi saya sangat berharga itu adalah Yth. Bapak Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara (Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Yth. Bapak Prof. Dr. Mohammad Kamal Hassan dari International Islamic University Malaysia (IIUM), 29 Agustus 2020.
Sejak acara tersebut, Wakil Rektor 2 Bidang Keuangan dan Administrasi Umum Yth. Bapak Dr. Anhar, MA, terus mempublikasikan wacana integrasi keilmuan di website institusi dan share ke WhatsApp Group Dosen Tetap IAIN Padangsidimpuan. Hadir selalu pembedah utama Yth. Bapak Irwan Saleh Dalimunte, MA. Beliau adalah aktivis-akademis yang gencar menyuarakan integrasi ilmu di kampus dan merupakan guru (dosen) sekaligus sahabat dari Yth. Bapak Dr. Anhar, MA.
Saya sejak Juli itu sudah mulai membaca pemikiran Yth. Bapak Prof Kuntowijoyo melalui dua buah bukunya berjudul Paradigma Islam dan Islam Sebagai Ilmu, pemikiran Yth. Bapak Prof. Dr. M. Amin Abdullah dengan Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif.
Rupanya Yth. Bapak Dr. Anhar, MA sedang serius membangun wacana ini, apakah integrasi keilmuan model Kuntowijoyo atau model Amin Abdullah. Namun tampaknya ke arah pemikiran Yth. Bapak Prof. Dr. Amin Abdullah. Mengapa saya berkesimpulan demikian? Ada beberapa dugaan saya, pertama secara kelembagaan Prof Amin Abdullah adalah sama di bawah naungan PTKI, tepatnya di UIN Sunan Kalijaga. Sudah barang tentu banyak dosen IAIN Padangsidimpuan merupakan mahasiswa Prof Amin Abdullah di Islamic Studies Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Lagi pula, gagasan prof amin Abdullah berkelanjutan yang mana setelah pendekatan integrative-interkonektif, kini hadir buku barunya Pendekatan Interdisipliner, Multidisipliner dan Transdisipliner. Dosen-dosen IAIN Padangsidimpuan sekira 16 orang langsung ikut serta preorder, tentu saya juga tidak ketinggalan.
Ini tidak menjadi persoalan apakah akan memakai model Kuntowijoyo atau Amin Abdullah. Muara ilmu dari Kuntowijoyo toh juga Ilmu Integralistik. Secara akademis, Prof Kuntowijoyo sangat menyadari bahwa beliau juga produk dari peradaban akademis Barat yang sekuler. Ini beliau sampaikan dalam bukunya. Namun upaya yang dilakukan oleh Prof Kuntowijoyo adalah apa yang disebut oleh Indigenousasi (Pribumisasi) Ilmu. Pemikiran Barat yang dibangun atas semangat sekularisme tentu tidak semua bisa diambil mentah-mentah oleh akademisi Indonesia yang mayoritas beragama Islam, ya paling tidak masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengakui agama.
Lalu, satu pekan terakhir (rentang 12-18 Oktober 2020) diskusi di group WA tentang integrasi ilmu ini menghangat. Ada kelompok yang mungkin saja tidak setuju dengan visi yang dibangun oleh IAIN Padangsidimpuan, yaitu Teoantropoekosentris. Sebuah visi yang mengakomodasi hubungan Tuhan, Manusia dan Alam, sebagaimana amanat dalam ajaran agama (Islam). Bahkan tiga unsur ini telah menjadi kajian utama filsafat sejak lama.
Diskusi terasa begitu ramai karena ada kelompok yang mempertentangkan visi yang bagus namun realitas tidak menunjukan arah yang- katakanlah tidak sesuai- pencapaian visi. Apalagi biacara soal filosofis dalam Islam yang sangat beragam, ada yang beraliran Aristotelian, Platonism, dan Filsafat Sufi. Keberagaman itu tentu akan menjadi wilayah yang dapat dipertentangkan, didiskusikan bahkan saling klaim kebenaran.
Namun kalau ditanya saya pribadi, saya lebih cenderung menggunakan filsafat wujud dari kelompok Ibnu Arabi. Saya tidak ingin berdebat soal personal Ibnu Arabi, yang sebagian orang mengkafirkannya dan sebagian lain menyebutnya sebagai orang yang bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Filsafat wujud yang kemudian diberi nama Martabat Tujuh itu sebenarnya merupakan elaborasi dari Muhammad Fadhullah Burhanpuri. Beliau murid dari Al-Kunawi yang ilmunya tersambung ke Syaikhul Akbar Ibnu Arabi.
Dari beberapa perdebatan tersebut, saya terpikir apakah Plato dan Aristoteles benar-benar sampai mengenal Tuhan sebagaimana para filosof sufi? Asumsi saya sementara adalah tidak, Plato dan Aristoteles tidak sampai mengenal Tuhan. Plato sampai pada arwah/roh sebagai pengatur alam raya ini, yang selalu menjaganya agar tetap harmonis dan seimbang. Tapi konon Plato itu tidak sampai pada siapa pencipta alam raya? Aristoteles sampai pada penggerak utama alam raya yang adalah alam materi. Hanya saja Aristoteles menyebut setiap benda-benda langit itu ada penggeraknya yang tidak bergerak. Hampir saja Aristoteles sampai pada Tuhan karena ia sudah memulai penggerak utama tunggal. Namun sekali lagi, Aristoteles tidak sampai pada Tuhan sebagaimana Tuhan yang ditemukan oleh filosof sufi. (Uraian ini merupakan resum saya terhadap bacaan dari akademisi Muslim Indonesia, yang mengutip, dan membahas pemikiran kedua filosof zaman Yunani itu).
Dalam filsafat Martabat Tujuh, bahkan Plato hanya sampai pada level penyingkapan alam mitsal untuk benda-benda dan alam arwah untuk alam semesta. Makanya aliran filsafatnya dikenal dengan idealism dan realism. Aristoteles hanya sampai pada penyingkapan alam ajsam, yaitu alam materi saja. Maka aliran filsafatnya adalah rasionalism dan empiricism.
Oke, ini mungkin penjelasan saya ini sangat subjektif dan bagi sebagian orang mungkin menuding saya telah meletakkan kedua Bapak Filsafat itu tidak pada tempat yang seharusnya. Saya tegaskan bahwa saya tidak mengurus maqom terminasi fisik kedua failosof tersebut. Namun yang saya coba-coba menganalisisnya adalah gagasan dan pemikiran filsafatnya. Saya sedang ingin mencari buku asli kedua filosof tersebut, kalau bisa berbahasa English supaya bisa saya pahami. Meski terkadang menggunakan tools untuk mentransletenya.
Berikut ini saya sampaikan bagaimana kerangka berpikir saya dalam memahami aspek filsafat antara Filsafat Sufi dengan Filsafat Barat (Aristoteles dan Plato). Memang terlalu simplitis supaya dapat dipahami oleh kelompok yang tidak mempelajari filsafat sekalipun.
Lalu ada persoalan lagi mengenai ilmu agama, dalam hal ini filsafat agama yang akan dijadikan sebagai basis epistemologis dalam membangun ilmu-ilmu keislaman.
Kelompok akademisi dan cendekiawan muslim pun masih banyak yang berpendapat bahwa islam itu bukan ilmu, penuh dengan subjektivitas, dan mendahulukan iman, apalagi sufi yang lebih mengemukakan RASA (Zauq).
Saya punya jawaban untuk debatan ini. Tasawuf lebih mengemukakan RASA, iya. Betul sekali. Para sufi berpendapat bahwa hanya mereka yang mengalaminya saja yang dapat merasakannya. Ini adalah soal pengalaman spiritual dalam perjalanan rohani sufi. Mungkin mereka mencapai maqom fanah, baqa, musyahadah, muqarabah, dan lain-lainnya. Maka untuk menjelaskan itu semua ketika tidak diterima penjelasan mereka oleh pihak lain, menurut saya berlakulah itu ungkapannya.
Pada gambar kedua saya berupaya memberikan penjelasan bahwa: dalam menjelaskan fenomena dan realitas ini, bagi muslim awwam (istilah dari Al-Ghazali, red) maka imannya yang mendominasi dan ekspresi rasa yang subjektif. Maka tidak heran ketika ada satu kasus yang dianggap menyinggung Islam, katakanlah melecehkan Allah, Rasul dan Al-Quran, atau Masjid dan Mushala, atau saudara sessama Muslim, maka saudara muslim kita dari berbagai belahan dunia turut meresponnya. Karena mereka melakukan itu semua didorong oleh keimanan dan rasa. Apakah itu salah? tentu saja tidak, ini adalah bentuk kepeduliaan terhadap saudara seagama.
Berbeda dengan filosof sufi, tentu saja mereka adalah orang yang beriman sebagaimana muslim lainnya. Namun keimanan mereka memberikan pencerahan kepada akalnya. Dalam mengenal Tuhan dan memahami fenomena dan alam semesta ini, telah bersatu-padu antara hati dan akal, antara iman dan pikir. (Saya sarankan untuk membaca lebih lanjut tentang filsafat sufi ini).
Sedangkan filosof Barat, sebut saja Aristoteles dan Plato, menggunakan kekuatan akal, jalannya adalah jalan pikir saja. Oleh karena itu, terkadang akal itu dapat dibelokkan oleh kekuatan-kekuatan lain. Hal ini kita tidak heran lagi karena memang akal itu kan terbatas kemampuannya dalam memahami realitas, apalagi tentang Tuhan. Meskipun kata Ibnu Rusyd bahwa akal tanpa wahyu dapat mengenali Tuhan. Nabi Ibrahim as itu dalam pencarian Tuhan melalui akal, namun akhirnya dia sampai pada satu tuhan yang menciptakan segala sesuatu yang pada mulanya disangka Tuhan, yaitu matahari, bulan dan bintang. Pada akhirnya kan Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada Nabi Ibrahim melalui perantara wahyu juga.
Terlalu panjang uraian saya tentu akan membuat kepala pusing. Ujung-ujungnya tidak dapat dipahami oleh pembaca. Oke, saya singkatkan saja bahwa filsafat sufi itu didapatkan oleh sufi melalui perpaduan antara hati dan akal, yaitu KESADARAN.
Pesan saya satu saja, jika memang nanti lembaga kita IAIN Padangsidimpuan menjadi UIN, maka usul saya adalah Pascasarjana itu mesti dialih menjadi Islamic Studies atau Pengkajian Islam. Dengan begitu, sarjana S1 tamatan dakwah memiliki kesempatan untuk memperdalam keilmuannya dengan pendekatan yang lagi tren itu, yaitu Integrasi-interkoneksi, Interdisipliner, Multidisipliner dan Transdisipliner.
0 Komentar