ANALISIS NOVEL SANG PENCERAH: STRATEGI
DAKWAH KH. AHMAD DAHLAN
Oleh,
Hari Candrawati, S.Sos.I
E.
LANDASAN
TEORITIS
1.
Dakwah
Kata dakwah
telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia yang berarti mengajak umat mempelajari
dan mengamalkan ajaran Islam. Aplikasi dalam kehidupan masyarakat, kata dakwah
identik dengan ceramah. Kalau dikatakan ustadz berdakwah, persepsi masyarakat
adalah ceramah agama. Bukan menyalahkan pemahaman itu, namun sebenarnya kata
dakwah mempunyai cakupan yang lebih luas lagi.
a.
Pengertian
Dakwah
Untuk mendudukan
pemahaman makna kata dakwah, penulis merasa perlu menampilkan pengertian dakwah
dalam tataran konsep keilmuan. Berikut ini, penulis menjelaskan pengertian
dakwah secara etimologi dan terminologi.
1)
Pengertian Dakwah Secara
Etimologi
Dakwah
berasal dari bahasa Arab dan memiliki akar kata دع و ; dal, ‘ain, dan waw. Dari akar kata ini
terangkai menjadi asal kata داع ; da’a,يدعو ; yad’u,
دعوة
; da’watan. Kata kerja داع ; da’a, yang berarti memanggil, mengundang atau
mengajak. Isim fa’ilnya (pelaku) adalah da’i yang berarti pendakwah. Di dalam
kamus al-munjid fi al-lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’i sebagai
orang memangil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya (Salmadanis,
2010:21). Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan makna kata dakwah menurut
analisis para ahli.
Menurut Ahmad
Warson Munawir dalam ilmu dakwah kata da’a mempunyai beberapa makna
antara lain memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon, menamakan,
menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan, mendoakan, mengisi dan
meratapi (Ali Aziz, 2009: 6).Menurut Abdul Rosyad Shaleh bila ditinjau dari
segi bahasa, dakwah dalam bentuk kata kerjanya atau fi’ilnya adalah
da’a- yad’u yang artinya memanggil, menyeru atau mengajak (Shaleh, 1986:
59). Toha Yahya Oemar (1976: 1) mengatakan bahwa dakwah berasal dari bahasa
Arab yang berarti ajakan, seruan, panggilan, dan undangan. Dan Hamzah Ya’qub
(1981:13) juga mengatakan bahwa kata dakwah berasal dari bahasa Arab yang
artinya ajakan, seruan, panggilan, dan undangan.
Uraian di atas
dapat dipahami bahwa arti kata dakwah yang dikemukakan para ahli pada
hakikatnya memiliki makna sama, yaitu mengajak, memanggil, menyeru, berdo’a
sesuai konteks penggunaan kata dakwah yang terdapat dalam al- Quran. Contoh
kata dakwah yang terdapat dalam QS. Ali Imran (3): 104.
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya: “Dan hendaklah di antara
kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”
(Departemen Agama RI, 2004:
63).
Kata يدعو (yad’u) dalam Qs. Ali-Imran: 104,
sesuai dengan konsep dakwah yang dipahami akademisi dakwah, di mana dakwah
adalah mengajak kepada kebaikan, menyuruh berbuat yang makruf, dan
mencegah dari pada kemungkaran.
2)
Pengertian Dakwah Secara
Terminologi
Pengertian
dakwah secara terminologi beragam sesuai dengan penekanan yang diberikan oleh
para ahli ilmu dakwah. Perbedaan ini dapat dipahami karena perbedaan dasar
keilmuan dan sudut pandang yang berbeda. Berikut ini penulis mengemukakan
beberapa defenisi dakwah, sebagai berikut.
1)
Abu Risman
Dakwah adalah
segala macam usaha yang dilakukan oleh seorang muslim atau lebih untuk merangsang
orang lain untuk memahami, meyakini dan kemudian menghayati ajaran Islam
sebagai pedoman hidup dan kehidupannya (Risman, 1985: 12).
2)
M. Hafi Anshari
Dakwah adalah
proses penyelenggaraan suatu usaha mengajak orang untuk beriman dan menaati
Allah Swt., Amar ma’ruf perbaikan dan pembangunan masyarakat dan Nahi Munkar yang dilakukan dengan
sengaja dan sadar untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu kebahagian dan
kesejahteraan hidup yang diridhai Allah Swt. (Anshari, 1993: 11).
3)
Nur Syam
Dakwah adalah proses
merealisasikan ajaran Islam dalam tataran kehidupan manusia dengan strategi,
metodologi, dan sistem dengan mempertimbangkan dimensi religio-sosio-psikologis
individu atau masyarakat agar target maksimalnya tercapai (Syam, 2003: 2).
4)
A. Hasjmy
Dakwah yaitu
mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan syari’at Islam
yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah sendiri (
Hasjmy, 1974: 18).
5)
Salmadanis
Dakwah adalah
mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindari keburukan dengan
menerapkan seluruh media yang ada dengan tujuan tegaknya agama (Islam)
seluas-luasnya di berbagai tempat dan dianut oleh masyarakat serta dipraktekkan
dalam kehidupan pribadi, golongan, dan bangsa (Salmadanis, 2010: 30).
6)
HSM Nasaruddin Latif
Dakwah adalah
setiap usaha atau aktivitas dengan lisan, tulisan, dan lainya yang bersifat
menyeru, mengajak, memanggil manusia untuk beriman dan menaati Allah Swt.
sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat serta akhlak Islamiyah.
Pemaparan
definisi dakwah di atas pada dasarnya tujuannya sama yaitu untuk mencapai
terwujudnya kebahagian, kesejahteraan dan keselamatan hidup di dunia maupun
akhirat. Manusia sebagai individu dan masyarakat dapat merasakan rahmat Islam
sebagai rahmatan lil’alamin bagi seluruh makhluk Allah Swt.
Dapat dipahami
bahwa dakwah adalah segala macam usaha untuk merangsang orang lain agar
memahami, meyakini dan menghayati ajaran Islam. Mengajak kepada yang makruf
dan mencegah dari yang Munkar dengan menerapkan seluruh media yang ada,
baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan
dengan strategi, metodologi dan sistem serta mempertimbangkan dimensi
religio-sosio-psikologis individu atau masyarakat dengan tujuan tegaknya agama
Islam tercapai secara kaffah.
b.
Kewajiban Dakwah
Dakwah merupakan
aktivitas yang sangat penting dan inheren (menyatu) dengan Islam. Sangat
sulit memisahkan dakwah dengan Islam karena Islam itu berkembang lewat dakwah.
Dengan dakwah, konsepsi ajaran islam diimplementasikan, kegiatan yang melanggar
aturan agama Islam dapat dihindarkan. Sebaliknya, ajaran Islam merupakan
pijakan dan materi yang didakwahkan. Islam sebagai pedoman hidup berkembang
melalui kegiatan dakwah. Tujuan Islam, menata kehidupan sosial agamais dan
penuh dengan keredhaan Allah Swt. Firman Allah SWT. QS. Ali-Imran (3):104;
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya: “Dan hendaklah di antara kamu ada
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, merekalah
orang-orang yang beruntung” (Q.S. 3: 104) (Departemen Agama RI, 1971: 93).
QS. An- Nahl
16:125
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya: Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk
(Q.S. 16: 125) (Departemen Agama RI, 1971:
421).
Berdasarkan ayat al-Qur'an
di atas, secara tegas Allah SWT. memerintahkan kita untuk melaksanakan dakwah
Islam. Perintah tersebut ditunjukkan dalam bentuk kata perintah (fi’il amr)
disebut dalam surat an-Nahl 125 dengan kata ”serulah” (ا د ع)sedangkan pada surat Ali-Imran: 104, kata
perintahnya terdapat dalam kata (و لتكن) “ dan hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang menyeru.....”. sekarang
permasalahanya yang menjadi perdebatan adalah kewajiban dakwah itu dibebankan kepada individu muslim
atau hanya dibebankan kepada kelompok orang saja. Para ulama berbeda pendapat mengenai
orang yang dibebani kewajiban dakwah
ini. Pangkal
perbedaan tersebut terletak pada huruf min (من) dalam surat Ali-Imran
ayat 104.
Pendapat pertama, Sebahagian ulama mengatakan kata min (من)
diartikan “sebagian” (li al-ta’idl) artinya kewajiban dakwah adalah fardlu
kifayah yaitu dakwah hanya dibebankan atas orang-orang yang memiliki
keahlian dan kemampuan di bidang agama Islam. salah satu ulama yang berpendapat
bahwa kewajiban dakwah adalah fardlu kifayah, pendapat al-Ghazali:
“Dalam ayat tersebut terdapat penjelasan kewajiban. Firman
Allah SWT. Yang berbunyi “hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang
menyeru……(QS.Ali Imran 104), merupakan sebuah perintah. Pada dasarnya, perintah
adalah kewajiban. Dalam ayat itu ada penjelasan bahwa kebahagian terkait dengan
kewajiban apabila ia dilaksanakan. Firman Allah, “mereka adalah orang-orang
yang berbahagia”, merupakan penjelasan bahwa kewajiban itu adalah fardlu
kifayah, bukan fadlu ‘ain. Karenanya, jika dakwah telah dilaksanakan oleh suatu
kelompok, maka kewajiban umat yang lain menjadi gugur. Allah tidak berfirman,
“jadilah masing-masing kalian semua
sebagai orang-orang yang memerintahkan makruf”, bahkan berfirman, “hendaklah
diantara kalian ada suatu kelompok”. Manakala ada seorang atau klompok yang
telah melaksanakannya, maka orang lain tidak menanggung dosa. Kebahagian
tertentu pada orang-orang yang melaksakannya dengan gembira. Jika semua orang
duduk saja (tidak melaksanakan dakwah),
maka sudah pasti dosannya akan dipikul oleh semua orang yang memiliki
kemampuan. (berdakwah)” (Ali
Aziz, 2009:149)
Al- Maraghi juga
berpendapat yang dikutip oleh Salmadanis (2010 : 36) menjelaskan bahwa kata minkum adalah
kembali kepada orang mukmin yang dipanggil pada ayat sebelumnya (QS. Ali Imran
103). Jadi maksud ayat ini adalah hendaklah ada diantara orang mukmin suatu
kelompok yang tertentu (punya keistimewaan dalam memahami agama islam secara
mendalam) yang akan melaksanakan dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar. Quraish
shihab berpendapat lebih tepat mengartikan kata minkum pada ayat diatas
dengan “sebagian dari kamu” (Ali Aziz, 2009:149), karena tidak semua orang dapat melaksanakan
dakwah. Disisi lain, dewasa ini perang informasi yang demikian pesat dengan
sajian nilai-nilai baru sering kali membingungkan, semua itu menuntut adanya
kelompok khusus yang menangani dakwah dan membendung informasi yang
menyesatkan, oleh karena itu lebih tepat memahami kata minkum pada ayat
di atas dalam artian sebagian dari kamu tanpa menuntut kewajiban setiap muslim
untuk saling ingat mengingatkan.
Namun sebagian
ulama juga berpendapat bahwa min (من) pada kata minkum (منكم) yang berfungsi
sebagai penjelas (li al-
tabyin). Dengan makna ini, kata minkum diartikan “kamu semua” bukan
“sebagian dari kamu” sebagai mana pendapat yang pertama diatas.
Jadi menurut pendapat yang kedua ini hukum dakwah adalah fardhu
‘ain yaitu kewajiban bagi setiap
muslim tanpa kecuali. Menurut Imam Khazin sebagaimana yang dikutib oleh Moh.
Ali Azis (2009: 43) menyatakan bahwa arti mim dalam surat Ali-Imran ayat
104 adalah berfungsi sebagai penjelas (li al- tabyin) bukan menunjukkan
arti sebagian (li al-ta’idl), sebab Allah telah mewajibkan dakwah kepada umat Islam
sebagaimana firman-Nya "Kamu sebagian adalah sebaik-baik umat” (Ali-Imran:
110), dan karena itu arti yang tepat untuk ayat 104 ayat Ali-Imran di atas adalah
hendaklah kamu semua menjadi umat yang selau mengajak kepada kebaikan
memerintah yang makruf dan mencegah yang mungkar. Salah satu
ulama yang berpendapat bahwa kewajiban dakwah adalah kewajiban bersama bagi
semua umat muslim adalah al- Razi. Bahkan al- razi mengartikan surat Ali- Imran
ayat 104 sebagai berikut :
”jadilah kalian sebagai para pendakwah
kepada kebajikan, sebagai orang-orang yang memerintahkan
hal yang makruh dan sebagai orang-orang yang melarang kemungkaran” (Razi, 1990:
VIII: 145)
Fuad Mohm.
Facruddin dan Ali al-Syamsi al Nasyar, sebagaimana yang dikutip oleh Salmadanis
mengatakan bahwa melaksanakan amar makruh nahi mungkar adalah suatu
kewajiban bukan oleh golongan tertentu saja, tetapi juga oleh semua golongan
umat Islam lainnya. Maka siapapun manusia yang tidak melakukannya hendaklah
diluruskan jalan hidupnya dengan melakukan jihad terhadap dirinya yang sifatnya
sama dengan melakukan jihad terhadap orang kafir atau fasik. Kewajiban al-amr
bi al-makruf wa al-hahy an al-munkar adalah bagi setiap mukmin sesuai
dengan kemampuan mereka, apakah dengan mengangkat senjata atau cara lain
(Salmadanis, 2000:64).
Lebih lanjut M.
Natsir menyatakan bahwa tugas dakwah adalah tugas umat secara keseluruhan bukan
hanya memonopoli golongan yang disebut dengan ulama atau cerdik pandai dan
cendikiawan. Bagaimana suatu masyarakat akan mendapat suatu kemajuan apabila
para anggota memiliki ilmu yang sedikit-banyak ilmu agama atau ilmu dunia tidak
bersedia mengembangkan apa yang ada pada diri mereka untuk selamanya. Suatu
ilmu yang bermanfaat bagi tiap-tiap yang khair dan yang makruf.
yang baik, patut, pantas dan terbit bagi tiap orang, tiap-tiap benih kebenaran
itu memiliki daya kemampuan sendiri dan tinggal lagi menaburkan serta
memupuknnya dan bagaimana pula suatu masyarakat akan selamat bila anggotanya
sama-sama diam, masa bodoh terhadap kemungkaran, tiap-tiap bibit kemungkaran memiliki
daya geraknya sendiri, di waktu masih kecil ia ibarat seperti bara yang tidak
sukar dimatikan, akan tetapi bila dibiarkan besar akan sukar mematikannya
(Natsir, 1989: 111).
Selain ayat- ayat
Al- Qur’an di dalam hadits juga terdapat
perintah atau suruhan untuk melakukan dakwah. Hukum dakwah ini nampaknya juga
akan berbeda pada setiap orang tergantung situasi dan kondisi yang dialami
orang tersebut dalam pandangan hukum. Abu Sa’id Al-Khudry ra. Berkata, Aku
Mendengar Rasulullah SAW., bersabda “Barangsiapa diantara kamu melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia mencegah dengan tangan (kekerasan atau
kekuasaan), jika ia tidak sanggup dengan demikian (sebab tidak memiliki
kekuatan dan kekuasaan), maka dengan lidahnya, dan jika tidak mampu (dengan
lidahnya) dengan hatinya yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” (HR.
Muslim).
Ada tiga cara
dakwah pada hadits tersebut. Pertama mencegah dengan tangan atau dengan
kekuasaan atau jabatan yang dimiliki seseorang, yang dengan jabatan atau
wewenang yang dimilikinya dia akan didengarkan orang atau orang akan
menyeganinya. Kedua dengan cara lisan yaitu berbicara dengan kebenaran
yang dilontarkan kepada mereka yang melakukan kemungkaran dan orang ini harus
mempunyai mental yang cukup kuat dalam melakukan tindakan pencegahan
kemungkaran. Ketiga dengan hati, ini merupakan jalan terakhir untuk
menasehati orang lain yaitu merupakan selemah-lemah keadaan seseorang,
setidak-tidaknya ia masih tetap berkewajiban menolak kemungkaran dengan hatinya
ia masih dianggap Allah sebagai orang yang memiliki iman, walaupun iman yang
paling lemah, yakni mentalnya tidak sanggup untuk mencegah kemungkaran.
Penolakan kemungkaran dengan hati merupakan batas minimal dan benteng tempat
penghabisan dari upaya pencegahan kemungkaran.
Dengan demikian
berdasarkan hadits tersebut menurut penulis ada dua macam hukum dakwah yaitu hukum
secara umum dan hukum secara khusus. Hukum secara umum adalah bahwa pelaksanaan
kegiatan dakwah ditetapkan sebagai kewajiban yang hukumnya fardlu kifayah.
Hal ini disebabkan karena tidak mungkin semua orang memiliki potensi sebagai
muballigh dan dapat melaksanakan dakwah dengan baik. Sedangkan hukum secara
khusus adalah ketetapan hukum yang dijatuhkan kepada seseorang yang keluar dari
hukum fardhu ‘ain , disebabkan
oleh tingkatan kemampuan dan ketidak mampuan seseorang.
c.
Unsur-unsur dakwah
Unsur-unsur
dakwah adalah komponen-komponen yang terdapat dalam setiap kegiatan dakwah.
Sedangkan unsur-unsur dakwah menurut M. Ali Aziz (2004:75) dan M. Munir (2006:
21) adalah Da’i (pelaku dakwah atau penerima dakwah), Mad’u (mitra
dakwah), Maddah (materi dakwah), Wasilah (media dakwah), Thariqah
(metode dakwah) dan Atsar (efek dakwah). Berikut di bawah ini penulis
akan menjelaskan unsur-unsur dakwah antara lain:
a.
Da’i
Kata da’i sering
disebut dengan sebutan muballigh (orang yang menyampaikan ajaran Islam), namun sebenarnya sebutan
ini konotasinya sangat sempit, karena masyarakat cenderung mengartikannya
dengan orang yang menyampaikan ajaran Islam
melalui lisan, seperti penceramah agama, khotib dan sebagainya.
b.
Mad’u
Mad’u yaitu
yang menjadi sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai
individu, mapun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama Islam maupun non
Islam atau dengan kata lain, manusia secara keseluruhan. Kepada manusia yang
belum Islam, dakwah bertujuan untuk mengajak mereka untuk mengikuti agama Islam
sedangkan kepada orang-orang yang telah beragam Islam dakwah bertujuan
meningkatkan kualitas Iman, Islam dan Ikhsan.
c.
Materi Dakwah
Materi
dakwah merupakan pesan-pesan dakwah yang disampaikan kepada umat. Menurut M.
Munir dan Wahyu Ilaihi (2006: 24) Materi dakwah adalah isi pesan atau materi
yang disampaikan oleh Da’i kepada mad’u. Materi dakwah itu meliputi seluruh
ajaran Islam yang mencakup dalam Al-qur’an dan sunnah Rasul yang meliputi tiga
prinsip: 1) Aqidah, 2) Akhlak dan 3) hukum, yang bisa disebut dengan ”syariat
islam” walaupun pengertian syariat Islam itu sendiri bisa dikacaukan dengan
pengertian figh atau hukum Islam (Salmadanis, 2003:105).
Adapun
materi-materi yang disampaikan komunikator kepada komunikan dapat diringkas
menjadi beberapa pokok pembahasan diantaranya:
1)
Aqidah Islam, yang meliputi tauhid
keimanan.
2)
Pembentukan pribadi yang sempurna,
dengan berpondasikan pada nilai-nilai akhlakul kharimah.
3)
Pembangunan masyarakat yang adil
dan makmur.
4)
Kemakmuran dan kesejahteraan dunia dan akhirat (Ya’qub,1981:30).
d.
Media Dakwah
Media
berasal dari bahas latin yaitu medius yang secara harfiah berarti
perantara, tengah atau pengantar (Ali Aziz, 2009: 403) dalam bahasa inggris
media merupakan bentuk jamak dari medium yang berarti tengah, antara,
rata-rata. Dari pengertian ini ahli komunikasi mengartikan media sebagai alat
yang menghubungkan pesan komunikasi yang disampaikan oleh komunikator kepada
komunikan. Media ini merupakan alat objektif dan menjadi saluran yang
menghubungkan ide da’i dengan umat, suatu elemen yang merupakan urat nadi dalam
kegiatan dakwah. Dalam bahasa arab media sama dengan wasilah atau dalam
bentuk jamak, wasail yang berarti alat atau perantara.
e.
Metode Dakwah
Metode
berasal dari bahasa yunani yaitu methodos yang berarti cara atau jalan
(Salmadanis, 2003: 117). Bila dikaitkan antara metode dengan dakwah dalam satu
pengertian dapat dikatakan sebagai jalan atau cara yang dipakai oleh subjek
dakwah dalam menyampaikan materi dakwah kepada objeknya (Salmadanis, 2010:62).
Al-Bayanuni berpendapat bahwa defenisi metode dakwah yaitu ”cara-cara yang
ditempuh oleh pendakwah dalam berdakwah atau cara dalam menerapkan strategi
dakwah” (Ali. Aziz, 2008: 357).
Abu Sa’id Al-Khudry ra. berkata, ”Aku
mendengar Rasulullah Saw., bersabda, “Barangsiapa diantara kamu melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia mencegah dengan tangan (kekerasan atau
kekuasaan), jika ia tidak sanggup dengan demikian (sebab tidak memiliki
kekuatan dan kekuasaan), maka dengan lidahnya, dan jika tidak mampu (dengan
lidahnya) dengan hatinya yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” (HR.
Muslim).
Berdasarkan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW tersebut penulis dapat memahami tiga klasifikasi
metode dakwah, yaitu:
1)
Memandang kepada objek: berdasarkan
tingkat atau kadar kemampuannya dalam menerima informasi (dakwah), dibutuhkan
metode dan teknik tersendiri yang memungkinkan umat faham dan puas penghidangan
dakwah tersebut, seperti pada kaum awam tentu dengan cara memberikan
bukti-bukti nyata yang menghilangkan keraguan dan dapat diterima oleh akal
pikiran mereka, kepada kaum intelektual harus memberikan argumentasi yang
sistematis dan logis dan kepada manusia yang berada diantara kedua posisi
diatas, sehingga mereka paham serta menerima kebenaran yang disampaikan.
2)
Memandang kepada subjek: hal ini
ditekankan kepada kemampuan juru dakwah dalam membungkus pesan sedemikian rupa
dengan menggunakan teknik yang sesuai dengan kemampuan, sehingga dakwah yang
disampaikan komunikatif dalam menyiarkan Islam, seperti dengan tangan
(kekuasaan), dengan lisan dan dengan hati.
3)
Memandang kepada materi: dengan
menyampaikan materi itu memakai metode tabsyir (memberi kabar
menggembirakan yang memberi harapan dan manfaat) serta metode tanzir
(memberi kabar pertakut atau menakutkan agar memperhitungkan usaha-usaha yang
dikerjakan serta akibat yang akan menimpanya).
f.
Efek dakwah
Dalam
setiap aktifitas dakwah pasti akan
menimbulkan reaksi artinya jika dakwah telah dilaksanakan oleh seorang da’i
dengan materi, media dan metode dakwah tertentu maka akan timbul respon dan
efek pada mad’u. Efek sering disebut dengan feed back (umpan balik)
dari proses dakwah ini sering kali melupakan atau tidak banyak menjadi
perhatian da’i. Kebanyakkan mereka menganggap bahwa setelah dakwah disampaikan
maka selesailah dakwah. Padahal efek atau feed back itu sangat besar
artinya dalam penentuan langkah-langkah dakwah berikutnya.
Evaluasi-evaluasi
dan koreksi terhadap efek dakwah harus dilaksanakan secara radikal dan
komprehensif artinya tidak secara persial atau setengah-setengah. Seluruh
komponen sistem atau unsur-unsur dakwah harus dievaluasi secara konpetensif.
Sebaiknya, evaluasi itu dilakukan oleh para da’i, para tokoh masyarakat dan
para ahli (Ali Aziz, 2006:139).
Para da’i
juga harus memiliki jiwa terbuka untuk melakukan pembaruan dan perubahan,
disamping bekerja dengan menggunakan ilmu, jika proses evaluasi ini telah
menghasilkan konklusi dan keputusan, maka segera diikuti dengan tindakan
korektif (corrective ection). Jika proses ini dapat dilaksanakan dengan
baik, maka terciptalah suatu mekanisme perjuangan dalam bidang dakwah.
2.
Strategi Dakwah Sebagai Usaha
Pencapaian Tujuan Dakwah
Aktifitas
dakwah pada hakekatnya adalah penyampaian materi dakwah, mengajak, mengajar,
mendengarkan dan sebagainya kepada da’i untuk mencapai tujuan yaitu
tersampaikanya materi dakwah dan diterima oleh mad’u. Kegiatan penyapaian
materi dakwah ini selalu bersifat religius. Maka dalam penyampaian materi
dakwah ini memerlukan cara-cara (strategi) yang baik dan efisien agar materi
yang disampaikan mudah diterima oleh mad’u atau objek dakwah.
Banyak
diantara kita susah membadakan antara strategi dengan metode, teknik, dan
taktik. Strategi adalah rencana kegiatan untuk mencapai sesuatu. Agar strategi
mencapai hasil yang optimal, maka diperlukan metode. Metode adalah cara untuk
mencapai sesuatu. Sedangkan teknik adalah cara yang lebih khusus dalam
penerapan suatu metode. Dan taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan
suatu teknik atau metode yang sifatnya lebih individual (Ali Aziz, 2009: 208).
Walau pada hakekatnya Strategi adalah
perencanaan (planning) dan management untuk mencapai suatu tujuan. Tetapi untuk mencapai tujuan tersebut,
strategi tidak hanya berfungsi sebagai peta jalan yang hanya menunjukkan arah
saja, melainkan harus menunjukkan bagaimana tekhnik (cara) operasionalnya.
Dengan demikian strategi dakwah merupakan perpaduan dari perencanaan (planning) dan management dakwah untuk mencapai suatu
tujuan. Untuk itu
berikut akan dibahas lebih dalam lagi tentang srategi dakwah. Namun untuk lebih
jelasnya penulis terlebih dahulu membahas tentang strategi.
a.
Pengertian Strategi
Kata strategi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Strategos
yang berarti “seni, cara, kiat”. Kata ini mengacu pada apa yang merupakan
perhatian utama manajemen puncak organisasi
(Steiner, 1988: 18). Pada konteks awalnya, strategi diartikan sebagai
generalship atau sesuatu yang dilakukan oleh para jendral dalam membuat rencana
untuk menaklukkan musuh dan memenangkan perang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, strategi didefinisikan
sebagai:
Ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa-bangsa
untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai.
a.
Ilmu
dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dalam perang, dalam
kondisi yg menguntungkan: sebagai komandan ia memang menguasai betul seorang
perwira di medan perang.
b.
Rencana
yg cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.
Dalam kamus ilmu-ilmu social
strategy diartikan:
a.
Tata
cara yang merupakan alternatife untuk berbagai langkah.
b.
Perundingan
yang bertujuan untuk mengubah batas-batas kekuatan.
c.
Kerangka
teori dan teknik yang memungkinkan ilmu pengetahuan dapat memecahkan
persoalan-persoalan (F.Reading, 1986: 405).
Penggunaan strategi dalam
istilah manajemen suatu organisasi diartikan sebagai kiat, cara dan taktik
utama yang di rancang secara sistematik dalam melaksanakan fungsi- fungsi
manajemen yang terarah kepada tujuan strategi organisasi. Secara terminologi strategi mempunyai beberapa pengertian
sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa para ahli, yaitu: Menurut George A Steiner dalam Agas
Dharma “strategi adalah proses yang digunakan oleh manajemen puncak untuk
mengevaluasi keunggulan dan kelemahan organisasi dalam rangka menyoroti peluang
dan tantangan yang ada dalam lingkungannya dan memutuskan kebijakan yang cocok
dengan kompetensi organisasi dengan lingkungannya (Steiner, 1988:18).
Menurut Fred R Dafid yang dikutip oleh Paulyn sulistio
menyatakan bahwa “strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan jangka
panjang”. Menurut Richard L Daft yang dikemukakan Emil Salim “strategi adalah
rencana tindakan yang menjabarkan alokasi sumber daya dan aktivitas-aktivitas
untuk menanggapi lingkungan dan membantu mencapai sasaran (David, 2006:11).
Srtategi adalah konsep dan atau upaya untuk mengerahkan dan
mengarahkan potensi dan sumber daya kedalam rangkaian kegiatan untuk mencapai
tujuan yang sudah ditetapkan (Amin, 2008: 165). Strategi adalah rencana
kegiatan untuk mencapai sesuatu (Ali Aziz, 2008: 207). Sementara strategi
menurut Din Syamsudin, strategi mengandung arti antara lain :
a. Rencana dan cara yang seksama untuk mencapai tujuan.
b. Seni dalam mensiasati pelaksanaan rencana atau program untuk mencapai
tujuan (Syamsudin, 2000:127).
Defenisi para ahli di atas dapat dipahami bahwa strategi
adalah suatu cara atau metode yang dilakukan oleh pimpinan untuk menetapkan
rencana, sasaran dan kebijakan dengan mengalokasikan sumber daya yang ada.
Dengan strategi, dapat mempertimbangkan peluang serta tantangan untuk mencapai
sasaran yang telah ditetapkan oleh organisasi
b.
Strategi Dakwah
Adapun pengertian strategi dakwah akan penulis kemukakan menurut
pendapat para ahli:
a.
Asmuni Syukir
Strategi
dakwah artinya sebagai metode, siasat, teknik/ meniver yang dipergunakan dalam
aktivitas (kegiatan) dakwah (Syukir, 1983: 32).
b.
Murthada Muthahhari
Strategi
dakwah ialah setiap aliran pemikiran yang mempunyai risalah untuk masyarakat
dan menyeru mereka untuk menerimannya, harus menggunakan suatu methode khas
yang berhubungan, di suatu pihak, dengan maksut untuk membangunkan suatu
kesadaran tertentu pada diri manusia dan untuk membangkitkan dan menggerakkan
mereka dengan menggunakan cara-cara tertentu (Muthahhari, 1985: 189).
c.
Rafi’udin dan Maman Abdul Djaliel
Strategi
dakwah adalah segalahal yang digunakan baik taktik, cara maupun teknik yang
digunakan dalam mencapai tujuan dakwah yang telah di tetapkan (Rafi’udin,
1997:78).
d.
Samsul Munir Amin
Strategi
dakwah artinya metode, siasat, taktik, atau maneuver yang dipergunakan dalam aktivitas
(kegiatan) dakwah (Amin, 2008: 176).
e.
Muhamad Ali Aziz
Strategi
dakwah adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk
mencapai tujuan dakwah tertentu (Ali Aziz, 2009: 349).
f.
Al-bayanuni
Strategi
dakwah adalah ketentuan-ketentuan dakwah dan rencana-rencana yang dirumuskan
untuk kegiatan dakwah (Ali Aziz, 2009: 351).
Dari pendapat
para ahli diatas penulis lebih cenderung memahami pendapat Murthada Muthahhari
bahwa Strategi dakwah ialah setiap aliran pemikiran yang mempunyai risalah
untuk masyarakat dan menyeru mereka untuk menerimannya, harus menggunakan suatu
methode khas yang berhubungan, di suatu pihak, dengan maksut untuk membangunkan
suatu kesadaran tertentu pada diri manusia dan untuk membangkitkan dan
menggerakkan mereka dengan menggunakan cara-cara tertentu.
c.
Macam-macam
Strategi Dakwah
Menurut Muhammad
Ali Aziz (2009: 353-256) dalam surat Al-Baqarah ayat 129 dan 151, ali Imran
ayat 164 dan al- jum’ah ayat 2. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut memiliki pesan
tentang tugas para rasul dimana dapat dipahami sebagai strategi dakwah. Ayat
tersebut mengisyaratkan tiga strategi dakwah, yaitu strategi tilawah
(membacakan ayat-ayat Allah SWT), strategi tazkiyah (menyucikan jiwa) dan
strategi tak’lim (mengajarkan Al-Qur’an dan Al-hikmah).
1)
Strategi
Tilawah.
Dimana dengan
strategi ini mitra dakwah diminta mendengarkan penjelasan pendakwah atau mitra
dakwah membaca sendiri pesan yang ditulis oleh pendakwah. Yang dimaksud
ayat-ayat Allah SWT bisa mencakup yang tertulis dalam kitab suci dan yang tidak
tertulis yaitu alam semesta dengan segala isi dan kejadian-kejadian didalamnya.
Kita dapat mengenal dan memperkenalkan Allah SWT melalu keajaiban ciptaan-Nya.
Dimana memperlihatkannya tidak hanya dengan lisan dan tulisan, tetapi juga
dengan gambar atau lukisan. Strategi tilawah bergerak lebih banyak pada ranah
kognitif (pemikiran) yang transformasinya melewati indra pendengaran dan indra
penglihatan serta ditambah akal yang sehat.
2)
Strategi
Tazkiyah
Jika strategi
tilawah melalui indra pendengaran dan indra penglihatan, maka strategi tazkiyah
melalui aspek kejiwaan. Salah satu misi dakwah adalah menyucikan jiwa manusia.
Kekotoran jiwa dapat menimbulkan berbagai penyakit, baik penyakit hati atau
badan. Sasaran strategi ini bukan pada juwa yang bersih, tetapi jiwa yang kotor.
Tanda jiwa yang kotor dapat dilihat dari gejala jiwa yang tidak stabil,
keimanan yang tidak istiqamah seperti akhlak tercela lainya seperti serakah,
sombong, kikir, dan sebagainya.
3)
Strategi Ta’lim
Strategi ini
hampir sama dengan strategi tilawah, akan tetapi, strategi ta’lim bersifat
lebih mendalam, dilakukan secara formal dan sistematis. Artinya, metode ini
hanya dapat diterapkan pada mitra dakwah yang tetap, dengan kurikulum yang
telah dirancang, dilakukan secara bertahap, serta memiliki target dan tujuan
tertentu.
Menurut pendapat
Samsul Munir Amin (2008: 178) strategi pendekatan dakwah, secara global
disebutkan dalam Q.S An-Nahl 16: 125. Dalam ayat tersebut jelas ada tiga
strategi yang dilakukan untuk melaksanakan dakwah, yaitu:
1)
Hikmah (dengan kebijaksanaan)
2)
Mau’izhah hasanah
(nasihat-nasihat yang baik)
3)
Mujadalah bil lati hiya ahsan
(diskusi dengan cara yang baik)
Al- Bayanuni
juga membagi strategi dakwah dalam tiga bentuk. Yaitu, strategi sentimental,
strategi rasional dan strategi indrawi.
1)
Strategi
sentimentil
Strategi ini
memfokuskan pada aspek hati dan menggerakkan perasaan dan batin mitra dakwah.
mitra dakwah nasihat yang mengesankan, memanggil dengan kelembutan, atau
memberikan pelayanan yang memuaskan beberapa metode yang dikembangkan dari
strategi sentimental ini. Metode-metode ini sesuai untuk mitra dakwah yang
terpinggirkan (marginal) dan dianggap lemah. Seperti kaum perempuan, anak-anak,
orang yang masih awam, para mualaf (imannya lemah), orang-orang miskin,
anak-anak yatim, dan sebagainya.
Strategi
sentimentil ini diterapkan oleh Nabi SAW saat menghadapi kaum musyrik Mekkah.
Tidak sedikit ayat-ayat makkiyah (ayat yang diturunkan ketika Nabi di Mekkah
atau sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah) yang menekankan aspek kemanusian
(humanisme), semacam kebersamaan, perhatian kepada fakir miskin, kasih sayang
kepada anak yatim dan sebagainya. Dengan strategi ini, pengikut Nabi SAW. Yang
pada masa awal umumnya berasal dari golongan kaum lemah merasa dihargai dan
kaum mulia merasa dihormati.
2)
Strategi
rasional
Dakwah yang
memfokuskan yang memfokuskan pada aspek akal pikiran. Strategi ini mendorong
mitra dakwah untuk berpikir, merenungkan dan mengambil pelajaran. Penggunaan
hokum logika, diskusi atau penampilan contoh dan bukti sejarah merupakan beberapa
metode dari strategi rasional. Nabi SAW menggunakan strategi ini untuk
menghadapi argumentasi para pemuka Yahudi. Mereka terkenal dengan
kecerdikannya.
3)
Strategi
indriawi
Strategi
indriawi juga dapat dinamakan dengan strategi eksperimen atau strategi ilmiah.
Ia didefenisikan sebagai sistem dakwah yang berorientasi pada pancaindra dan
berpegang teguh pada hasil penelitian dan percobaan. Diantara metode yang
dihimpun oleh strategi ini adalah praktik keagamaan, keteladanan dan pentas
drama. Nabi SAW juga pernah mempraktikkan Islam sebagai perwujudan strategi
indrawi yang disaksikan oleh para sahabat. Para sahabat dapat menyaksikan
mukjizat Nabi SAW secara langsung, seperti terbrlahnya rembulan, bahkan
menyaksikan Malaikat Jibril dalam bentuk manusia. Sekarang kita mengunakan Al-
Qur’an untuk memperkuat atau menolak
hasil penelitian ilmiah dengan menguraikan hasil penemuan ilmiah saat
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam skripsi
ini yang di jadikan sebagai grend teori penelitian adalah pendapat yang dikemukakan
oleh Al-Bayanuni, yang mengatakan bahwa strategi dakwah itu ada tiga: strategi
sentimental, atrategi rasional, dan strategi indrawi. Alasan dipilihnya teori
ini adalah sebagai landasan teori, karena teorinya jelas dan mudah dipahami,
serta memudahkan penulis untuk menganalisis data selanjutnya.
3.
Penggunaan Karya Sastra
Sebagai Media Dakwah
a.
Pengertian Karya
Sastra
Sastra adalah
perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan adalah media pemikiran yang
tercurah melalui bahasa, bahasa yang bisa direpresentasikan dalam bentuk
tulisan, media lain bisa saja berbentuk gambar, melody musik, lukisan ataupun
karya lingkungan binaan (arsitektur).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, sastra adalah
bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa
sehari-hari). Definisi kedua menurut kamus ini, sastra adalah hasil karya
manusia berupa pengolahan bahasa yang indah, berbentuk lisan atau tulisan (Tim
Prima Pena, Tth: 873).
Istilah sastra sendiri, berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti
”tulisan” atau ”karangan”. Sastra biasanya diartikan sebagai karangan dengan
bahasa yang indah dan isi yang baik. Bahasa yang indah artinya bisa menimbulkan
kesan dan menghibur pembacanya. Isi yang baik artinya berguna dan mengandung
nilai pendidikan. Bentuk fisik dari sastra disebut karya sastra. Penulis karya
sastra disebut sastrawan. Dalam Bahasa Indonesia, kata ini biasa digunakan untuk
merujuk kepada ”kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau
keindahan tertentu. Tetapi kata ”sastra” bisa pula merujuk kepada semua jenis
tulisan, apakah ini indah atau tidak (http://Pengertian Seni Sastra.htm).
Pengertian
sastra secara umum yaitu hasil cipta manusia berupa tulisan maupun lisan,
bersifat imajinatif, disampaikan secara khas, mengandung pesan yang bersifat
relatif. Pengertian sastra jawa adalah : Sastra: alat untuk mengajar. Jadi,
sastra adalah segala sesuatu yang berfungsi untuk mengajar. Ilmu pengetahuan,
ilmu alam, hukum, undang-undang, ilmu bahasa, karangan, naskah/ manuskrip dalam
filologi. Objek sastra, bahasa lisan maupun tertulis, baik tersurat maupun
tersirat, dengan aneka gaya penyampaiannya (http://pengertian-sastra.html)
Dari uraian
diatas dapat penulis simpulkan sastra adalah hasil karya manusia berbentuk
pengolahan bahasa yang indah, berupa lisan maupun tulisan. Jadi karya seseorang
dapat dianggap sebagai hasil satra jika memiliki bahasa yang indah dan menimbulkan
kesan yang mendalam.
b.
Novel Sebagai
Media Dakwah
Perkembangan
masyarakat yang semakin meningkat dan tuntutan yang semakin beragam membuat
dakwah tidak hanya bisa dilakukan secara tradisional. Tetapi dakwah haruslah
dikemas dengan cara-cara atau strategi yang tepat dan pas. Banyak media yang
bisa digunakan para da’i dalam menyampaikan pesan dakwahnya. Salah satunya
adalah melaluai media tulisan seperti cerpen, cerbung, cergam dan bahkan novel
yang bisa dimuat nilai-nilai didalamnya. Novel-novel bernuansa islami yang
paling dikenal oleh masyarakat indonesia yaitu seperti Ayat-Ayat Cinta, Wanita
Berkalung Sorban, , Dibawah Lindungan Kabah, Dalam Mihrab Cinta,
dan banyak lagi judul-judul novel islami yang dapat mengundang antusisme
masyarakat hingga ke versi layar lebarnya.
Berkaitan dengan
hal ini sebenarnya novel adalah salah satu bentuk sastra yang dapat dijadikan
sebagai media dakwah. Pengarang novel, dalam kaitannya novel sebagai dakwah,
berposisi dan berperan sebagai da’i. Sebagai da’i pengarang dituntut untuk
memiliki kekuatan ideologi.
Kekuatan
ideology atau pemikiran dari seorang pengarang novel akan mempengaruhi
gambaran-gambaran tokoh-tokoh yang diceritakannya. Jadi secara tidak langsung
tema atau isi novel merupakan ajakan untuk bersikap tertentu sesuai dengan sikap
yang bersumber pada kekuatan ideology pengarangnya.
Selain ideology,
hal penting lainnya yang harus diperhatikan oleh pengarang novel adalah adanya
kemampuan untuk dapat menyelipkan atau menjadikan tema novelnya mengandung
ajaran agama islam dengan gaya bahasa yang indah atau kondisisonal sehingga
dapat menyentuh rohani pembaca. Gaya penuturan cerita yang digunakan para
penulis novel tampaknya sangat potensial sekali untuk membantu dan mengarahkan
pembacanya dalam meningkatkan iman dan mengamalkan amalan yang diridhai Allah
SWT. Demi memperoleh keselamatan, kebahagiaan di dunia dan akihrat.
Kemudahan dalam
mencerna isi novel tidak terlepas dari keunggulan novel sebagai media tulisan
dibandingkan media komunikasi suara maupun gambar (radio dan televisi) kekuatan
yang ada dalam sebuah novel adalah adanya peluang untuk mengulangi atau membaca
ulang setiap teks naskah hingga pembaca bisa lebih memahami dan mengerti isi
dan maksud teks tersebut. Kelebihan lain, sebagai bagian dari kekuatan novel
adalah tidak terikat waktu dan tempat. Pembaca novel tidak perlu takut untuk
tidak dapat menikmati isi cerita karena keterbatasan ruang waktu dan tempat
layaknya yang terjadi pada media radio dan televisi.
Novel tidak
terbatas oleh waktu maksudnya adalah bahwa dalam memahami novel, pembaca bebas
menentukan sendiri kapan waktu yang sesuai untuk membaca novel. sedangkan
maksud dari tidak terbatas oleh tempat adalah novel dapat dibaca dimana saja
karena mudah dibawa dan tidak memerlukan sarana pendukung layaknya radio maupun
televisi yang paling tidak membutuhkan aliran listrik untuk menerima informasi
atau melakukan sebuah komunikasi. (h.5 bersambung).
0 Komentar