Oleh,
Hari Candrawati, S.Sos.I
E.
HASIL
PENELITIAN
1.
Profil dan
Perjuangan K.H Ahmad Dahlan
Nama kecil K.H Ahmad
Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang
bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia
termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana
Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor
penyebaran agama Islam di Jawa. Yunus Salam, 1968: 6 dalam http:
//www. muhammadiyah. or. id/id/5- content- 156-det-kh- ahmad-dahlan.html
menuliskan silsilah K.H Ahmad Dahlan tersebut ialah Maulana
Malik Ibrahim, Maulana
Ishaq, Maulana
'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman
Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru
Kapindo, Kiai Ilyas, Kiai Murtadla, K.H Muhammad Sulaiman, K.H Abu Bakar, dan
Muhammad Darwis.
Muhammad Darwis dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan
sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada
umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad
Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam,
seperti Muhammad
Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha
dan Ibnu Taimiyah
(Mukhan, 1990: 8). Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun1888, ia berganti
nama menjadi Ahmad Dahlan dan menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya
sendiri, anak Kiai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, Ahmad Dahlan
mendapat enam orang anak yaitu; Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan
Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah (Kutojo, 1991). Di samping itu, Ahmad
Dahlan pernah menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah
menikahi Nyai Rum, adik Kiai Munawwir Krapyak. Ahmad Dahlan juga mempunyai
putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Ajengan Penghulu)
Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin,
Pakualaman Yogyakarta (Salam, 1968: 9).
Pada tahun 1903,
Ahmad Dahlan berangkat lagi ke Mekkah mendalami ilmu agama. Ia berguru dengan Syech
Muhammad Khatib, imam besar Mekkah yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat
(Mukhan, 1990:7). Sepulang dari Mekkah untuk kedua kalinya, Ahmad Dahlan
melihat bahwa golongan ortodoksi dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam,
serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) umat Islam. Oleh karena itu,
pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan
gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an
dan al-Hadis.
Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan
sehari-harinya. Ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk
dirinya sendiri:
“Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar
dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau
lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga
engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah
engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian,
pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu,
renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (Djarnawi
Hadikusumo dalam Basral, 2010: xi).
Dari pesan itu tersirat
sebuah semangat dan keyakinan yang besar tentang kehidupan akhirat. Untuk
mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang
harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah,
amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan
yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah
Allah (Mulkhan, 1990: 10-11). Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai
kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa
upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh umat manusia
melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.
Kesadaran seperti itulah
yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat Islam di tanah air.
Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan,
menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak
mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa
orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin
tanpa organisasi. Untuk membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia)
tersebut, Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama
melaksanakan upaya dakwah. Ia dan murid-muridnya meneruskan dan melangsungkan
cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran
akan ketertindasan dan ketertinggalan umat Islam di Nusantara. Pada 18 november
1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah
bukan organisasi politik tetapi organisasi yang bersifat sosial dan bergerak di
bidang pendidikan (Suryanegara, 1996: 216).
Langkah yang dipilih Ahmad
Dahlan untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang
belajar di Opleiding School Voor Indische Ambtenaren (OSVIA) Magelang dan
para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia
sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di
kedua sekolah tersebut (Mulkhan, 1990:19). Dengan mendidik para calon
pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya
tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di
tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan
akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu,
Dahlan mendirikan sekolah yang pertama secara formal yakni Madrasah Ibtidaiyah
dan Madrasah Diniyah dirumah beliau sendiri. Dahlan juga mendirikan sekolah
guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah)
dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan
mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
K.H Ahmad Dahlan juga aktif
dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, dan ia juga
tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada
keluarganya. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang
cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship
yang cukup menggejala di masyarakat.
Gagasan pendirian
Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan mendapatkan resistensi (hambatan), baik dari
keluarga maupun dari masyarakat sekitar. Berbagai fitnah, tuduhan, dan hasutan
datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang
menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya Kiai palsu, karena sudah meniru-niru
bangsa Belanda kafir (non-muslim), mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul
dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi, dan
bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu, Ahmad Dahlan sempat mengajar agama Islam
di sekolah OSVIA Magelang, yang
merupakan sekolah khusus Belanda untuk anak-anak priyayi. Bahkan ada pula
orang yang hendak membunuhnya, namun ia berteguh hati untuk melanjutkan
cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air. Berkat keteguhan
pendiriannya itu, Ahmad Dahlan bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada
tanggal 20 Desember
1912, Ahmad Dahlan
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan
itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914 (Mulkhan, 1990:27). Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi
ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Pemerintah Hindia Belanda
menaruh kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Atas kecuriagaan itu,
aktivitas muhammadiyah diawasi dan dibatasi. Akan tetapi, di daerah lain
seperti Srandakan,
Wonosari, Imogiri dan lain-Iain
telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi amarah pemerintah, K.H Ahmad Dahlan
menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta
memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang,
Ahmadiyah di Garut.
Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Berbagai perkumpulan dan jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, di
antaranya ialah Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima
kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh
agama lain seperti Pastur van Lith
pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Ahmad
Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan
Katolik. Pada saat itu Kiai Ahmad Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan
pakaian hajinya.
Gagasan
pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan
tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari
masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain
berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada 7 Mei
1921 Dahlan mengajukan
permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada 2 September
1921 (Mulkhan, 1990: 29).
Sebagai
seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, Ahmad Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk
proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama
hidupnya, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota Muhammadiyah,
yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
2.
Upaya K.H Ahmad Dahlan Menentukan Strategi Dakwah Dalam Novel Sang
Pencerah
Dakwah Kiai Ahmad Dahlan lebih menekankan pada
aspek pendidikan. Ia melihat kondisi umat Islam di Kauman dan Nusantara, jauh
terbelakang bila dibanding dengan
pendidikan umat Islam di Timur Tengah, khususnya Mekkah dan tempat-tempat yang
pernah dikunjungi Kiai Ahmad Dahlan selama belajar. Keterbelakangan ini
dikarenakan pemikiran umat Islam yang ortodoks, dan tertutupnya pintu ijtihad
di elit para kiai. Kondisi ini jelas menutup jalan lain dalam
melaksanakan syariat. Jalan lain yang dimaksud adalah perubahan tradisi umat
dalam melaksanakan perintah agama. Kalau tidak berlebihan menilai, kondisi
keagamaan umat Islam di Kauman, sudah taklid, mengekor tanpa dalil yang kuat.
Hanya berdalih bahwa tradisi itu telah dilaksanakan oleh leluhur maka ia
menjadi pegangan umat saat ini.
Dalam
Novel Sang Pencerah diceritakan, Kiai Ahmad Dahlan tidak setuju dengan adanya
tradisi nyadran dan ruwatan untuk menyambut kedatangan bulan
Ramadhan (Basral, 2010: 68, 82, dan 83), yasinan 40 hari (Basral, 2010:
32), perayaan sekaten, yaitu merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw,
dan tradisi sesajen dibarengi bakar kemenyan di pohon besar (Basral, 2010: 90).
Kiai Ahmad Dahlan tidak setuju dengan cara masyarakat yang terlalu
berlebih-lebihan sehingga memberatkan umat. Berikut ini, cuplikan musyawarah
para kiai dan takmir untuk melaksanakan upacara Nyadran dan ruwatan di Kauman.
“Sudah lebih dari lima Ramadhan Ngayogyakarto dalam masa sulit,” Kiai
Kamaludiningrat memulai pengantarnya. “Semoga Ramadhan kali ini menjadi penutup
bagi zaman kala bendu……” Seperti yang sudah menjadi adat tradisi selama ini,
Kiai.” jawab kakak iparku Mas Muhsin. “Nyadran dan Ruwahan.” ……Tapi aku harus
merasa bertanya, atau lebih tepatnya harus menyatakan pendapat. Begitu inginnya
aku berkomentar……..” Maaf, Kiai. Mengingat kondisi masyarakat kita yang sedang
prihatin di zaman kala bendu ini, apakah tidak sebaiknya acara Nyadran dibuat
sederhana saja? tanyaku. (Basral, 2010: 82-83).
Potongan
novel di atas diceritakan bahwa Kiai Ahmad Dahlan tidak menentang adanya
pelaksanaan upacara Nyadran, tetapi ia mengusulkan agar pelaksanaan teknisnya
disederhanakan. Upacara Nyadran biasanya dilaksanakan oleh masyarakat dengan
meriah, dan membutuhkan biaya yang besar. Adat yang diwarnai dengan tradisi
dari keraton, yang menginginkan kegiatan itu besar. Akan tetapi di sisi lain,
kondisi perekonomian masyarakat yang sedang merosot dan tidak mendukung untuk
pelaksanaan upacara. Hal ini menurut pendapat Kiai Ahmad Dahlan hanyalah
memberatkan. Paling prinsip bagi Ahmad Dahlan adalah kegiatan Nyadran tidak
disyariatkan dalam Islam, sehingga Nyadran boleh dilaksanakan dan boleh tidak.
Pada
umumnya, Tradisi masyarakat Jawa yang suka menerima dan melaksanakan pesan
pemimpin atau atasannya menjadikan masyarakat takut untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan kebiasaan umum. Bukan berarti orang Jawa bodoh, tetapi
suka menerima apa yang sedang terjadi dan menganggap semua yang terjadi itu
takdir yang harus diterima pasrah. Justeru itu, sepulang Kiai Ahmad Dahlan dari
Mekkah dan merintis gerakkan perubahan. Sudah lima tahun ia meninggalkan
kampung halamannya, Kauman, tetapi tidak banyak yang berubah. Masyarakat masih
terbelakang, baik di bidang pengetahuan umum dan pengetahuan agama. Kiai memang
banyak di Kauman, tetapi tradisi suka menerima tidak hilang darinya. Inilah
yang dijebol oleh Kiai Ahmad Dahlan. Berbeda dari kebiasaan kiai kebanyakan, ia
aktif mengembangkan ide-ide perubahan untuk mencapai kemajuan. Berikut ini akan
diuraikan langkah demi langkah, bagaimana Kiai Ahmad Dahlan memantapkan
strategi dakwahnya.
“Mas Noor lalu mengambil satu edisi majalah Al-Manar dan
mengangkatnya dengan tangan kanannya. “Majalah ini bukannya dilarang pemerintah
Mesir dan Saudi, dimas?” pertanyaan Mas Noor membuat suasana langsung hening,
seperti menunggu jawabanku. “Majalah ini memang diterbitkan oleh Syaikh
Jamaluddin Al-Afghani dan Syaikh Muhammad ‘Abduh yang disebut-sebut sebagai
tokoh pembaru. Pemikiran mereka merubah kecenderungan tasawuf sempit menjadi
pengamalan Islam secara nyata melalui pendidikan untuk membuat umat lebih
mengerti agama, bukan sekedar ikut-ikutan. Saya rasa tidak ada yang berbahaya
dengan semangat pembaruan yang seperti itu.” (Basral, 2010: 149-150).
1.
Menyemarakkan Langgar Kidul
Langgar kidul
didirikan oleh ayah Kiai Ahmad Dahlan untuk mengajarkan ilmu agama kepada para
santrinya. Setelah ayah Kiai Ahmad Dahlan meninggal dunia, pengajian di langgar
kidul dilanjutkan oleh Kiai Ahmad Dahlan. Berikut potongan naskah yang
menceritakan peralihan Langgar Kidul dari ayahnya Kiai Abu Bakar kepada Kiai
Ahmad Dahlan. Peralihan itu bukan sewaktu ayahnya hidup, namun peristiwa itu
terjadi setelah ayahnya Kiai Abu Bakar itu meninggal dunia.
“Pada suatu hari, aku mengikuti lagi pengajian yang diberikan bapak di
Langgar Kidul. Bapak terlihat senang akan kedatanganku. Kuperhatikan cara bapak
mengajar masih menarik seperti biasanya. Kata-kata mengalir lancar dari
mulutnya dengan contoh-contoh penjelasan yang mudah dimengerti murid
pengajian…….Akhirnya pada Sya’ban tahun 1896, hanya beberapa hari menjelang
umat Islam memasuki bulan suci Ramadhan untuk menunaikan ibadah puasa, bapak
meninggal dunia. Seluruh Yogyakarta berduka.”
Isyarat yang
dapat diambil dari potongan naskah di atas adalah Langgar Kidul sudah ada
sebelum Kiai Ahmad Dahlan menjadi kiai tersohor di Kauman. Langgar Kidul
merupakan tempat Kiai Abu Bakar mengajarkan ilmu agama kepada santrinya. Sejak
ayahnya meninggal, Langgar Kidul digunakan oleh Kiai Ahmad Dahlan untuk
berdakwah dan mengajarkan ilmu agama. Murid pertama Kiai Ahmad Dahlan di
Langgar Kidul adalah adik tirinya Muhammad Sangidu. Jabatan imam masjid ghede
kauman diamanahkan kepada Kiai Ahmad Dahlan dan dilantik langsung oleh Sri
Sultan, Ngarsa Dalem. Khutbah pertama Kiai Ahmad Dahlan membahas tentang Islam
agama yang damai, dan mengayomi, serta rahmat bagi sekalian alam. Penjelasan
yang menarik dari Kiai Ahmad Dahlan membuat jamaah Masjid Ghede tambah kagum
kepada kiai. Di perjalanan pulang, dua pemuda menemui Kiai Ahmad Dahlan. Mereka
adalah Daniel dan adiknya Jazuli. Kepiawaian Kiai Ahmad Dahlan melayani orang
lain, apalagi anak-anak muda, sehingga menawan hati Daniel dan Jazuli untuk
belajar agama ke Kiai Ahmad Dahlan. Kiai Dahlan mengundang mereka untuk belajar
di Langgar Kidul.
“Boleh ndak kami ikut mengaji di langgar kiai?” tanya Jazuli. “Oh,
boleh, datang saja ke Langgar Kidul kapan saja kalian ada waktu,” jawabku.
“Allah senang dengan anak-anak muda yang suka mencari ilmu.”
Pada
perkembangan berikutnya, Langgar Kidul dijadikan sebagai pusat pendidikan.
Apalagi semenjak Kiai Ahmad Dahlan dikucilkan dari Masjid Ghede Kauman. Pusat
pengajian Kiai Ahmad Dahlan dilanggar kidul mendapat lirikan masyarakat,
terutama para elit agama kauman. Sampai-sampai Langgar Kidul dirobohkan. Akan
tetapi, ketabahan Kiai Ahmad Dahlan menegakan agama Islam dengan misi perubahan
umat untuk keluar dari keterbelakangan. Ketika Kiai Ahmad Dahlan memutuskan
untuk meninggalkan Kauman, malah kenyataan berbeda menimpa Kiai Ahmad Dahlan.
Ia dicegah oleh Kiai Saleh, dan Langgar Kidul didirikan kembali. Sejak
peristiwa itu, Kiai Ahmad Dahlan tidak mundur dalam menyampaikan dakwah Islam
dan mengembangkan agama sampai ke calon cendikiawan belanda di Kweekschool.
2.
Mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah
Dalam
novel sang pencerah, Kiai Ahmad Dahlan mendirikan madrasah ibtidaiyyah sebagai
tempat menyalurkan pendidikan. Ide-ide perubahan yang selama ini ia
cita-citakan diajarkan kepada murid-muridnya. Kiai Ahmad Dahlan mendirikan
madrasah, setelah ia pulang dari Mekkah untuk kedua kalinya. Kiai ahmad dahlan
menjelaskan tujuan mendirikan langgar, madrasah, dan perkumpulan, “Langgar itu
untuk ibadah Sudja, madrasah untuk pendidikan Islam, sedangkan perkumpulan ini
untuk aktivitas sosial kita,”…….(Basral, 2010: 412).
Tahun
1908-1909, Kiai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah yang pertama yaitu Madrasah
Ibtidaiyyah, dan Madrasah Diniyah, sekolah setingkat SD. Kegiatan belajar
mengajarnya diadakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 meter.
Sekolah tersebut sudah dikelola secara modern dengan menggunakan metode,
kurikulum, menggunakan papan tulis, meja, dan kursi.
Madrasah
yang didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan bertujuan untuk memberikan pendidikan
agama Islam kepada anak-anak yang belum sekolah, dan anak-anak yang ingin
menuntut ilmu agama Islam. Awal berdirinya madrasah, kiai ahmad dahlan memiliki
murid setia seperti Hisyam, Sangidu, Sudja, dan Dirjo. Kemudian, Kiai Ahmad
Dahlan mendapatkan empat orang anak yang tidak sekolah pada pencariannya di
Alun- Alun, sedangkan Sangidu dan Hisyam berhasil mengajak dua orang anak dari
Kauman.
Aku menatap para murid.
“Mumpung belum sore, Sanggidu dan Hisyam, kalian coba cari anak-anak yang belum
sekolah di Kauman. Sudja dan Dirjo temani aku mencari murid di Alun-Alun….”
Untunglah pencarian sore ini berhasil mendapatkan empat orang anak gelandangan
yang bersedia menjadi murid Madrasah Ibtidaiyah yang baru aku dirikan.
Keempatnya lalu kami mandikan dikali kecil depan Masjid Gedhe Kauman…..Ketika
empat anak gelandangan itu sudah hampir bersih, datang Hisyam dan Sangidu bersama
dengan dua orang anak Kauman yang cukup bersih. (Basral, 2010: 374-376).
Dari
uraian tersebut dapat dipahami bahwa murid Kiai Ahmad Dahlan sudah berjumlah 10
orang. Mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik dari Kiai Ahmad Dahlan.
setahap demi setahap, Kiai Ahmad Dahlan berhasil menguasai perasaannya yang
perih, ketika tuduhan demi tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak
senang dengan cara Kiai Ahmad Dahlan mengajarkan agama dan mempraktikkan Islam.
Meskipun ia dipanggil kiai kafir oleh kebanyakan masyarakat kauman, tetapi
tidak membuat surut niatnya untuk mengubah pandangan umat terhadap agama Islam,
menghapus pendapat yang taklid membabi buta, sehingga terwujud generasi muslim
yang tangguh dan kuat, kuat iman dan amal, serta dalam ilmu pengetahuannya
dengan menekankan pada aspek social keagamaan, hablul minallah wa
hablumminannas: menjalin hubungan dengan Allah dan menjalin hubungan dengan
sesama manusia. Pemikiran yang tersirat dalam gerakan sosial Kiai Ahmad Dahlan
adalah menjalin hubungan sesama manusia dengan memperhatikan kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya umat. Menurutnya, agama Islam yang diturunkan Allah melalui
Nabi Muhammad Saw adalah agama yang membawa kemudahan, kedamaian, dan menjadi
rahmat bagi seluruh alam. Untuk mengaplikasikan konsep itu, tentu dengan
merealisasikan nilai tauhid menjadi nilai yang dapat dirasakan manfaatnya dalam
kehidupan sehari-hari umat.
Dalam biografi singkat Kiai Ahmad Dahlan yang
dituliskan dalam http://www.muhammadiyah.or.id,
menceritakan bahwa Kiai Ahmad Dahkan mendirikan madrasah muallimin dan
muallimat yang melahirkan para calon guru. Dengan demikian, Kiai Ahmad Dahlan
juga mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses
transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan
mempunyai murid yang banyak. Oleh
karena itu, Dahlan mendirikan sekolah yang pertama secara formal yakni Madrasah
Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah dirumah beliau sendiri. Dahlan juga mendirikan
sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah)
dan Madrasah Mu’allimat (Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan
mengajarkan agama Islam dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
3.
Mengajar di Kweekschool Belanda
Kiai Ahmad Dahlan gigih membina angkatan muda untuk
turut bersama sama melaksanakan upaya membangun sistem pendidikan modern. Ia
tidak hanya mengajarkan agama di langgar, tetapi juga memberanikan diri untuk
mengajar di sekolah Belanda, Kweekschool. Kiai Ahmad Dahlan melihat peluang
besar untuk menyebarkan ide-ide perubahan dengan mendidik anak-anak pejabat
yang ada di kweekschool.
“Raden Budiharjo
mengabarkan bahwa Dewan Pengajar Kweekschool Jetis mengabulkan usulanku untuk
mengajarkan agama Islam kepada murid-murid mereka selama satu hari…..” (Basral,
2010: 345).
Dalam potongan naskah dijelaskan bahwa Kiai Ahmad
Dahlan diberi izin untuk mengajarkan ilmu agama Islam di sekolah Belanda itu.
Melihat penampilan kiai yang bersih dan tidak seperti penampilan kebanyakan
kiai di Kauman, maka siswa-siswa merasa tidak percaya bahwa Kiai Ahmad Dahlan
berasal dari golongan para kiai. Memang, penampilan Kiai Ahmad Dahlan meniru
penampilan aktivis budi utomo, sikap terbuka itulah yang membawa kiai ahmad dahlan
bergabung dengan organisasi modern. Awal memberikan pelajaran, Kiai Ahmad
Dahlan dicengangkan dengan adanya bunyi kentut salah seorang pelajar. Anggapan
anak-anak di kweekschool, Kiai Ahmad Dahlan akan marah kepada mereka, namun
berbeda dengan reaksi yang ditampilkan kiai. Malah Kiai Ahmad Dahlan
mengapresiasi anak-anak yang kentut dan mempersilahkan untuk kentut kembali.
Akan tetapi, Kiai Dahlan memasukan ajaran Islam, ia mengajarkan kepada
anak-anak bahwa kentut itu sehat, dan sehabis kentut hendaklah mengucapkan
syukur kepada Allah, Alhamdulillahirabbil’alamin. Sikap yang tidak lazim
yang ditampilkan Kiai Ahmad Dahlan memberikan marwah kepemimpinan kiai kepada
anak-anaknya. Kiai Ahmad Dahlan disukai oleh anak-anak kweekschool. Bahkan,
anak-anak yang tidak puas belajar agama di kweekschool, meminta untuk ikut
belajar agama di langgar dan di Madrasah Ibtidaiyyah yang didirikan oleh Kiai
Ahmad Dahlan.
“Sekarang setiap hari
Minggu, kesibukanku juga bertambah karena bukan lagi aku yang datang ke
Kweekschool buat mengajarkan agama Islam, melainkan para murid itu yang dikirim
ke rumahku. Tak semua murid itu beragama Islam, ada juga yang beragama Kristen
atau Katolik, sehingga pelajaran agama Islam selalu menjadi ajang diskusi yang
menyenangkan.” (Basral, 2010: 382).
Kiai Ahmad Dahlan menerapkan perpaduan dua sistem
pendidikan, yaitu pendidikan modern yang dipelajarinya melalui organisasi Budi
Utomo, dan sistem pendidikan pesantren. Kiai Ahmad Dahlan menggunakan peralatan
untuk mengajar seperti apa yang digunakan oleh sekolah belanda, termasuk materi
dan kurikulum. Di sisi lain, Kiai Ahmad Dahlan tetap mengajarkan ilmu agama
seperti yang diajarkan di pesantren.
4.
Mendirikan Perkumpulan Islam
Muhammadiyah
Pada
tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan
cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan
suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam.
Ia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan
al-Qur’an dan Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912.
Sejak
awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Gagasan pendirian
Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi (hambatan), baik
dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru
yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah
meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan
ada pula orang yang hendak membunuhnya.
Rintangan
tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan
cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua
rintangan tersebut. Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum.
Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta.
Izin
mendirikan organisasi muhammadiya memang terlambat keluarnya dari tahun ia ditetapkan
sebagai hari lahir Muhammadiyah. Dalam novel, dikatakan bahwa deklarasi
pendirian Muhammadiyah dengan keluarnya izin organisasi muhammadiyah dari
pemerintah hindia belanda berlangsung pada tahun yang sama. Di sini ditemukan
sedikit kekeliruan. Dalam blog yang dikelolah langsung oleh organisasi
Muhammadiyah menuliskan bahwa deklarasi berdirinya Muhammadiyah pada tahun
1912, sedangkan izin Muhammadiyah keluar pada 1914. Ada perbedaan waktu lebih
kurang dua tahun.
Kiai
Ahmad Dahlan menyerahkan harta benda dan kekayaannya untuk m endukung aktitas
sebagai modal gerak langkah Muhammadiyah. Kiai seringkali melelang perabot
rumah tangganya untuk mencukupi keperluan gerakan Muhammadiyah. Tahun 1922,
Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru dan 1019 siswa.
Yaitu Opleiding School di Magelang, Kweeck School (Magelang), Kweeck School
(Purworejo), Normal School (Blitar), NBS (Bandung), Algemeene Midelbare School
(Surabaya), Hoogers Kweekschool (Purworejo). Tahun 1921 Muhammadiyah sudah memiliki
lima cabang yaitu: Srandakan (Yogyakarta), Imogiri (Yogyakarta), Blora (Jawa
Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen Malang (Jawa Timur). Tahun 1922
menyusul berdiri cabang Muhammadiyah di Solo, Purwokerto, Pekalongan,
Pekajangan, Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan Sungai Liat (Bangka). Selain itu
Muhammadiyah sudah menerbitkan majalah yaitu Suara Muhammadiyah sejak tahun
1914. dan Kiai Ahmad Dahlan duduk sebagai staf redaksi. Kemudian Muhammadiyah
pun mendirikan perpustakaan pada tahun 1922, untuk para anggota dan Umat Islam
pada umumnya.
3.
Strategi Dakwah K.H Ahmad Dahlan Dalam Novel Sang Pencerah
Pada penjelasan Bab II, ditegaskan bahwa grand
theory strategi dakwah dalam skripsi ini adalah strategi sentimentil,
strategi rasional, dan strategi indriawi. Alasan dipilihnya pendapat yang
dikemukakan oleh Muhammad Fath al-Bayanuni ini karena teorinya jelas dan
mencakup apa yang dijelaskan oleh ahli lainnya. Seperti teori yang dikemukakan
oleh Muhammad Ali Aziz yang menyebutkan bahwa strategi dakwah ada tiga, yaitu
strategi tilawah, strategi tazkiyah, dan strategi ta’lim. Ali Aziz memberikan
pengertian yang hampir sama dengan teori yang dibuat oleh al-Bayanuni, hanya
berbeda istilah. Teori strategi tilawah mirip penjelasannya dengan strategi
inderawi, strategi tazkiyah mirip dengan strategi strategi sentimentil, dan
strategi ta’lim berdekatan penjelasannya dengan strategi rasional. Untuk lebih
jelasnya, berikut ini akan dipaparkan uraian strategi dakwah yang terdapat
dalam novel sang pencerah.
a. Strategi
Sentimentil
Strategi
sentimentil memfokuskan pada aspek hati, menggerakkan perasaan dan batin mitra
dakwah,
memberikan nasihat yang mengesankan, memanggil dengan kelembutan, dan
memberikan pelayanan yang memuaskan. Metode-metode ini sesuai untuk mitra dakwah
yang terpinggirkan (marginal) dan dianggap lemah. Seperti kaum perempuan,
anak-anak, orang yang masih awam, para mualaf, orang-orang miskin, anak-anak
yatim, dan sebagainya. Selain menekankan pada aspek hati, strategi sentimentil
juga menekankan aspek kemanusian (humanisme), seperti kebersamaan, perhatian
kepada fakir miskin, kasih sayang kepada anak yatim dan sebagainya.
Dalam Novel Sang
Pencerah, strategi sentimentil ini dapat dilihat ketika Kiai Ahmad Dahlan
mengusulkan agar upacara ruwetan diadakan secara sederhana karena masyarakat
sedang ditimpa zaman kala bendu, yaitu zaman kesulitan ekonomi. Pernyataan ini
disampaikan Kiai Ahmad Dahlan dengan sangat hati-hati. Ia sangat menyadari
posisinya sebagai anak muda, anak seorang kiai, adik dari kiai yang lain.
Maaf, Kiai.
Mengingat kondisi masyarakat kita yang sedang prihatin di zaman kala bendu ini,
apakah tidak sebaiknya acara Nyadran dibuat sederhana saja? tanyaku. (Basral,
2010: 82-83).
Pendapat ini
dapat dipahami bahwa sejak meranjak remaja, Kiai Ahmad Dahlan sudah
memperhatikan aspek kemanusiaan dalam melaksanakan agama. Ini sejalan dengan
prinsip dakwah bahwa seorang da’i tidak boleh memaksakan kehendak kepada umat.
Agama Islam itu memberikan keringanan kepada pemeluknya. Allah berfirman dalam Qs.
al- Baqarah: 286, sebagai berikut.
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pkön=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3 …
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan
yang dikerjakannya…”
(Q.S. 2: 286) (Departemen
Agama RI, 1971: 72)
Dalam tradisi
kauman saat itu, kegiatan keagamaan dikendalikan oleh kiai Masjid Ghede,
terutama imam besar masjid yang dipegang oleh Kiai Kamaludiningrat. Kiai Haji
Ahmad Dahlan dalam setiap kesempatan pada novel, digambarkan dengan ketokohan
yang lemah lembut dalam menyampaikan ilmu. Kelembutan itu yang menjadi daya
tarik murid, dan orang lain yang berdiskusi dengannya.
y7Í´¯»s9'ré& úïÉ©9$# ãNn=÷èt ª!$# $tB Îû óOÎhÎ/qè=è% óÚÌôãr'sù öNåk÷]tã öNßgôàÏãur @è%ur öNçl°; þ_Îû öNÎhÅ¡àÿRr& Kwöqs% $ZóÎ=t/
“Mereka itu adalah orang-orang yang
Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu, berpalinglah kamu
dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka
perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (Q.S. 4: 63) (Departemen Agama RI, 1971: 129).
Kiai Ahmad Dahlan memahami
kondisi umat yang sangat fanatik terhadap pendapat lama yang menjadi pegangan.
Bagi para kiai di Kauman, beranggapan bahwa melakukan dialog dengan orang
selain beragama Islam adalah termasuk hal-hal yang dilarang. Inilah yang
dilakukan oleh Kiai Ahmad Dahlan, ia sempat melakukan dialog dengan tokoh agama
Kristen, yaitu dengan Pastor Van Lith, Pastor Van Driesse, dan Pendeta Bakker.
Akan tetapi, para kiai Kauman termasuk Kiai Penghulu Kamaludiningrat malah menyalahkan
sikap Kiai Ahmad Dahlan yang menjalin hubungan komunikasi dengan tokoh-tokoh
kafir. Jawaban kiai ahmad dahlan singkat dan jelas. Bagi ahmad dahlan justeru
umat beragama itu selayaknya tidak hanya memahami ajaran agamanya, tetapi juga
mempelajari agama orang lain.
Dua momentum yang dijelaskan
di atas, yaitu usulan kiai ahmad dahlan untuk melakukan upacara ruwetan dengan
sederhana karena kondisi ekonomi umat yang sedang sulit. Ini lebih mengarah
kepada pola berpikir yang humanistis (human oriented). Hanya saja pendapat kiai ahmad dahlan sulit diterima oleh para kiai
kauman dikarenakan budaya wong Jawa yang identik dengan keraton masih kental pada mereka.
Kegiatan dialog antar umat
beragama, menurut para kiai Kauman, melakukan dialog hanyalah perbuatan yang
sia-sia. Pendapat ini muncul karena kekhawatiran mereka jangan sampai Kiai
Ahmad Dahlan dikalahkan dalam diskusi sehingga menjadi pengikut agama non
Islam. Akan tetapi bagi Ahmad Dahlan malah menganggap sebaliknya. Optimisme
Kiai Ahmad Dahlan bahwa Islam akan lebih cepat dikenal seluruh umat kalau
dikomunikasikan secara luas, tidak hanya menjelaskan Islam kepada intern umat
islam, melainkan juga umat luar Islam. Meskipun ia tidak sependapat dengan
berpikir kiai kauman, Ahmad Dahlan tetap memberikan alasan yang dapat
memberikan sentuhan yang dapat memanggil rasa keagamaan, “manusia yang tahu
caranya mencuri tidak dapat disebut pencuri kecuali kalau dia benar-benar
melakukan pencurian.” (Basral, 2010: 275). Ungkapan yang singkat dan jelas,
memerlukan pikiran untuk menerima pernyataan itu, apalagi pernyataan itu
dianalogikan oleh Kiai Ahmad Dahlan kepada tindakan yang telah dilakukannya,
yaitu melakukan dialog dengan tokoh non-muslim.
Kiai Ahmad Dahlan melakukan
dialog dengan tokoh agama lain adalah untuk merintis strategi dakwah Islam.
Kesempatan untuk mengajarkan agama Islam terbuka umum, bahkan tidak hanya
kepada anak-anak tetapi dialog antar umat beragama itu ditujukan kiai kepada
tokoh agama lain. Inilah strategi, di mana kiai ahmad dahlan menetapkan
sejumlah cara untuk menetapkan rencana, sasaran dan kebijakan. Rencana Dahlan
melakukan debat adalah mencari kebenaran agama sesungguhnya, Islam atau
non-Islam, sasarannya adalah memperluas penyebaran agama. Maka dari itu, Kiai
Ahmad Dahlan bersedia melakukan dialog. Sebelum ia mengundang tokoh-tokoh agama
lain untuk berdialog, tentulah kiai sudah mengkalkulasikan sumber daya atau
kemampuan yang dimilikinya, menganalisis peluang dan tantangan sehingga tujuan
dialog dapat dicapai dengan baik.
b. Strategi Rasional
Strategi dakwah rasional merupakan strategi yang memfokuskan pada
aspek akal pikiran. Strategi rasional mendorong mitra
dakwah untuk berpikir, merenungkan dan mengambil pelajaran. Penggunaan hukum
logika, diskusi atau penampilan contoh, dan bukti sejarah merupakan beberapa
metode dari strategi rasional. Dalam novel ini, penggalan yang menggambarkan
ketokohan Kiai Ahmad Dahlan yang mengedepankan analisis dan pemikiran adalah
ketika ia tidak setuju dengan beberapa tradisi masyarakat. Hal itu digambarkan
dalam novel ketika Kiai Ahmad Dahlan mengikuti pengajian dengan Kiai Kholil
Kamaludiningrat, seperti berikut ini.
“Tradisi ya tradisi,
tidak bisa dibarengkan dengan ajaran agama,” … “Sekarang ini sudah makin banyak
tradisi yang masuk kedalam ajaran agama kita.”
“Misalnya seperti padusan
dan ruwatan memasuki Ramadhan itu. Banyak masyarakat yang menyangka
wajib hukumnya melakukan padusan dan ruwatan, sementara pada saat bulan suci
sekarang sendiri kalian lihat sendiri di pasar, banyak yang tidak puasa. Padahal
justru puasa itu yang wajib dilakukan, bukan padusan,” Kata Darwis.
(Basral, 2010: 98).
Dalam
penggalan itu diceritakan bahwa Kiai Ahmad Dahlan tidak setuju ketika
masyarakat sangat mengagungkan bulan Ramadhan. Anggapan masyarakat kauman bahwa
mengadakan ruwetan dan padusunan merupakan perbuatan yang diwajibkan agama.
Demikian mengagungkan masyarakat, seakan perhatian mereka tercurah untuk dapat
melakukan upacara tersebut. Akan tetapi masyarakat telah lupa bahwa seharusnya
mereka berusaha mengubah paradigma yang salah itu. Justeru, bagi Ahmad Dahlan
yang wajib itu adalah berpuasa, tetapi banyak orang yang tidak menjalankannya.
Menurut Kiai Ahmad Dahlan, inilah seharusnya menjadi perhatian para kiai.
Dalam
penggalan yang lain, Kiai Ahmad Dahlan menjelaskan Islam dengan tegas dan
lugas. Hal itu dapat diketahui saat ia memberikan khutbah pertama di Masjid
Ghede Kauman. Ia menjelaskan dengan terang dan disertai dalil al-Quran sehingga
dapat meyakinkan pendengar. Kutipan cerita itu dapat dilihat pada halaman
175-176 Novel Sang Pencerah sebagai berikut ini.
“Allah Swt. berfirman
bahwa Islam adalah rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seluruh alam
semesta,” ujarku membuka khutbah Jumat. “Islam harus menjadi rahmat bagi siapa
saja yang bernaung di dalamnya, baik muslim maupun bukan muslim…….(Basral,
2010: 175).
Aku lanjutkan khutbah,
“Merahmati itu artinya melindungi, mengayomi, membuat damai, tidak mengekang
atau membuat takut umat, atau membuat rumit dan berat kehidupan muslim dengan
upacara-upacara dan sesajen yang tidak pada tempatnya,” ujarku sambil tetap
mengarahkan pandangan kepada sebanyak mungkin jamaah……(Basral, 2010: 175).
“Allah juga berfirman
dalam kitab suci-Nya bahwa dia begitu dekat dengan kita, lebih dekat dari urat
leher,” kataku lagi. “Maka berdoalah kepada-Ku dengan sungguh-sungguh, memohon
ampun. Niscaya akan Aku kabulkan janji Allah….”(Basral, 2010: 176).
Jadi, dalam berdoa yang
dibutuhkan adalah sabar, ikhlas, dan keyakinan bahwa Allah akan mengabulkan doa
kita. Itulah indahnya ajaran Islam dan kita sebagai umat Muhammad yang tidak
mengenal sistem kepanditaan seperti pada ajaran agama lain. Di dalam Islam,
kita bisa berdoa langsung, memohon langsung kepada Allah Swt., bukan memohon
kepada kiai, tidak perlu meminta kepada imam atau khatib, apalagi sampai
meminta-minta pada sesajen. Musyrik itu! Jika ingin meminta, mintalah langsung
kepada Allah Swt. Karena insya Allah akan dikabulkan!” ujarku dengan nada yang
kurasakan makin bersemangat. (Basral, 2010: 176).
Penggalan di atas dapat dipahami bahwa Kiai Ahmad
Dahlan menyampaikan ajaran agama lebih mengedepankan pada aspek pendidikan.
Rangkaian kata yang keluar dari mulut Kiai Ahmad Dahlan semuanya menjelaskan
agama dan dilengkapi dengan dalil. Pendidikan yang dimaksud tidak hanya
pendidikan formal di lembaga formal seperti saat ini, melainkan pengetahuan
tentang amal sebelum mengamalkannya. Jadi, ketika mayoritas umat Islam telah
mengalami pendidikan yang tinggi, maka akan terjadi keadaan umat Islam yang
aqidahnya kuat dan ilmu pengetahuannya luas. Kondisi inilah yang akan
melahirkan khairu ummah yang disebutkan oleh Allah dalam QS. Ali-Imran,
dan menjadi umat yang dijanjikan Allah untuk diangkat derajatnya karena beriman
dan berilmu pengetahuan.
c. Strategi indriawi
Strategi
indriawi dinamakan juga dengan strategi eksperimen atau strategi ilmiah.
Strategi indriawi didefenisikan sebagai sistem dakwah yang berorientasi pada
panca indera dan berpegang teguh pada hasil penelitian dan percobaan. Di antara
metode yang dihimpun oleh strategi ini adalah praktik keagamaan, keteladanan
dan pentas drama.
Salah
satu contoh bahwa Kiai Ahmad Dahlan menggunakan strategi indriawi adalah saat
ingin merubah arah kiblat. Usulan Kiai Ahmad Dahlan untuk merubah arah kiblat
bukan karena ingin pamor melainkan kebanyakan masjid yang dikunjunginya
memiliki arah kiblat yang salah.
Dalam perjalananku ke pelbagai kota di luar Jogja, setiap masjid yang
aku singgahi aku catat arah kiblatnya. Dan hampir semuanya salah arah.
Kadang-kadang aku melakukan pekerjaan pencatatan arah kiblat ini di dalam
kereta api yang sedang bergerak dari satu kota ke kota lain, di samping
tumpukan kain batik daganganku. (Basral, 2010: 197).
Kondisi di atas memberikan pesan kepada pembaca bahwa
Kiai Ahmad Dahlan berkeliling menjual dagangan batiknya. Kesempatan itu yang
membawa Kiai Ahmad Dahlan dapat mengamati kondisi arah kiblat beberapa masjid
di beberapa kota yang dikunjunginya. Ilmu falaq dan ilmu hisab yang dipelajari
sewaktu di Makkah diaplikasikannya, ternyata banyak masjid yang salah arah
kiblatnya. Mengetahui kondisi yang demikian, Kiai Ahmad Dahlan tidak tinggal
diam, ia berdiskusi dengan pengurus masjid. Salah satu dialog Kiai Ahmad Dahlan
dengan pengurus masjid yang memiliki masjid yang salah arah kiblatnya.
Karena itu, ketika
sedang di sebuah masjid di magelang, aku memiliki kesempatan bertemu dengan
imam masjid bersangkutan. Aku segera gunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
“Kenapa arah kiblat di masjid ini diarahkan ke timur laut, Kiai? tanyaku.
“Ini disesuaikan dengan
badan bahu jalan depan, Kiai,” katanya menjelaskan. “Nanti tidak enak dipandang
kalau posisi masjidnya melenceng dari bahu jalan,” jawab sang imam. (Basral,
2010: 197).
Demikian uraian imam masjid yang tidak memiliki
alasan yang tepat. Bahkan yang menjadi landasan dalam menentukan arah kiblat
hanya disesuaikan dengan badan jalan agar masjid kelihatan indah. Kiai Ahmad
Dahlan menanyakan adakah upaya pemimpin agama di masjid itu untuk melakukan
perubahan. Dialog ini menandakan, seruan Kiai Ahmad Dahlan tidak serta merta
menyalahkan orang lain. Akan tetapi, Ahmad Dahlan menelusuri ke belakang, apa
yang menyebabkan kesalahan itu terjadi. Ini adalah strategi Kiai Ahmad Dahlan
untuk membuka diri untuk berdialog dengan kiai lainnya. Mendiskusikan apa
sebenarnya yang terjadi. Meskipun Kiai Ahmad Dahlan meyakini bahwa kebanyakan
arah kiblat masjid salah, tetap saja diajaknya orang lain untuk sepaham dengan
mengemukakan alasan yang jelas dan dapat dipelajari bersama.
Kiai
Ahmad Dahlan pun memilih individu yang bisa diajak berdialog dengan hati dan
pikiran yang lapang. Kiai Ahmad Dahlan lebih menyenangi berdialog dengan Kiai
Shaleh, daripada Kiai Muhammad Noor. Hasil dialog Kiai Ahmad Dahlan dengan Kiai
Shaleh berjalan lancar karena Kiai Shaleh mempercayai apa yang diberitahukan
oleh Kiai Dahlan. Kiai Ahmad Dahlan juga membicarakan persoalan banyaknya arah
kiblat yang salah dengan Kiai Noor. Akan tetapi, kiai Muhammad noor menolak
keterangan Kiai Dahlan. Walaupun mendapatkan penolakkan, namun Kiai Ahmad
Dahlan tetap menyampaikan alasannya dengan tenang dan jelas.
”Saya tidak menyalahkan
dan meremehkan siapa-siapa, Mas. Saya hanya ingin mengatakan bahwa arah kiblat
yang kita yakini selama ini menghadap ke Ka’bah itu ternyata keliru, baik
berdasarkan perhitungan ilmu falaq dan hisab maupun dengan bantuan alat-alat
baru seperti kompas.” (Basral, 2010: 201).
Usulan
Kiai Ahmad Dahlan untuk mengubah arah kiblat tidak mendapatkan tanggapan
positif dari para kiai di Kauman. Apalagi Kiai Siraj Pakualaman yang menentang
pendapat Kiai Ahmad Dahlan. Kiai Pakualaman menganggap bahwa peta yang
digunakan Kiai Ahmad Dahlan untuk mengetahui kebenaran arah kiblat merupakan
buatan umat non-muslim. Akibatnya, masyarakat tetap menghadap ke arah yang
lama. Akan tetapi, berbeda apa yang ditampilkan oleh Kiai Ahmad Dahlan.
Meskipun ia menjadi makmum pada shalat berjamaah di Masjid Ghede, tetapi Kiai
Ahmad Dahlan teguh dengan pendiriannya.
Shalat subuh berjamaah
akan dimulai diimami oleh Kiai Abdullah Siraj Pakualaman. Seluruh makmum sudah
berdiri sesuai dengan saf yang berlaku selama ini kecuali aku. Aku berdiri
dengan posisi miring 24° ke arah barat laut, seorang diri. Ini memang bukan
pilihan yang mudah...
Awalnya ini juga terasa
dilematis bagiku. Jika aku memilih shalat dengan menghadap ke arah kiblat yang
aku yakini, dan shalat itu aku lakukan di rumah atau di Langgar Kidul, tentu
tidak ada masalah. Tapi, jika aku lakukan seperti sekarang ini di Masjid Ghede,
sudah pasti menjadi tontonan dan pembicaraan semua orang. Namun jika aku
sendiri tidak yakin terhadap apa yang kusampaikan pada malam sebelumnya, tidak
akan pernah ada orang yang menganggap serius protesku. Sehingga dari dua
pilihan kemungkinan itu aku memutuskan untuk tetap bertahan pada apa yang aku
yakini benar, bukan mengikuti keinginan mayoritas yang sudah aku yakini tidak
benar. (Basral, 2010: 212-213).
Kondisi
yang sangat berbeda dirasakan oleh Kiai Ahmad Dahlan. ketika Kiai Pakualaman
mengatakan agar saf dirapatkan dan diluruskan, namun posisi Kiai Ahmad Dahlan
yang miring dari jamaah yang lainnya membuat posisi yang berbeda. Keanehan ini
sempat membuat Kiai Ahmad Dahlan mengurungkan niatnya untuk shalat berjamaah di
Masjid Ghede. Oleh karena itu, Kiai Ahmad Dahlan sering melaksanakan shalat
berjamaah di Langgar Kidul dengan mengikuti arah kiblat yang sudah dirobahnya.
“Perubahan arah kiblat itu saat ini hanya bisa dilakukan di tempat kecil
seperti Langgar Kidul, maka itulah yang aku lakukan.” (Basral, 2010: 228).
Dari
uraian di atas dapat dipahami bahwa Kiai Ahmad Dahlan memperlihatkan keteguhan
dakwahnya. Ia berdakwah tidak hanya mengajarkan ilmu melalui lisan, melainkan
mengajak umat dengan memberikan ketauladanan atau percontohan dalam bentuk
perbuatan nyata dalam kehidupan nyata. Jika dilihat ke belakang, sejarah Nabi
Muhammad Saw., maka keputusan Kiai Ahmad Dahlan melihatkan dakwah bi al-hal (dakwah
dengan perbuatan).
tbrâßDù's?r& }¨$¨Y9$# ÎhÉ9ø9$$Î/ tböq|¡Ys?ur öNä3|¡àÿRr& öNçFRr&ur tbqè=÷Gs? |=»tGÅ3ø9$# 4 xsùr& tbqè=É)÷ès?
“Mengapa
kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah
kamu berpikir? (Q.S.
2: 44) (Departemen Agama RI, 1971: 129).
Ayat di
atas memberikan pemahaman bahwa dakwah itu harus memperhatikan tujuan. Sudah
tentu tujuan dakwah untuk mengajak umat agar mempelajari, memahami, dan
mengamalkan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan ini tidak akan
terwujud jika orang yang menyerukan kebaikan itu tidak menjalankan apa yang
diserukannya. Inilah yang dilampaui oleh Kiai Ahmad Dahlan. Walaupun hidup
berdakwah di lingkungan yang kurang mendukung, namun Kiai Ahmad Dahlan tidak
gentar untuk melaksanakan apa yang diyakini benar.
Keteladanan
ini tidak hanya berlangsung ketika Kiai Ahmad Dahlan mengusulkan perubahan arah
kiblat. Sejak kecil Kiai Ahmad Dahlan sudah berpikir jernih, dan berkepribadian
yang santun dan lemah lembut. Bahkan, ketika Langgar Kidul, pusat Kiai Ahmad
Dahlan mengembangkan agama Islam dibongkar paksa, tetap saja ditanggapi dengan
kepala dingin.
“Mundur
sejenak dari suasana panas agar bisa berpikir lebih jernih dan bisa menyusun
kembali rencana selanjutnya yang lebih baik, menjadi pilihan yang menurut kami
lebih baik. Kauman untuk sementara harus ditinggalkan.” (Basral, 2010: 254).
Dari
penggalan novel ini dapat dipahami bahwa Kiai Ahmad Dahlan lebih suka mengalah
daripada membalas dengan perbuatan yang sama. Keputusan itu juga tidak
diputuskan sendiri, melainkan dimusyawarahkan dengan istrinya. Inilah strategi
yang patut dicontoh. Sikap perilaku hidup Kiai Ahmad Dahlan yang seperti inilah
yang dapat digolongkan kepada strategi indriawi. (h.6- bersambung).
0 Komentar